Translate

Sabtu, 10 Februari 2018

DISPOSISI MATEMATIS, KEMANDIRIAN BELAJAR (SELF REGULATED), KARAKTER DAN MOTIVASI


 DISPOSISI MATEMATIS, KEMANDIRIAN BELAJAR (SELF REGULATED), KARAKTER DAN MOTIVASI

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Model Pembelajaran Matematika pada semester genap tahun akademik 2015/2016
dengan dosen pembimbing Maulana, M.Pd.



Disusun oleh :
Kelompok 1
Semester 6 Kelas 3D
1.      Trisna Nugraha            (No. Absen/NIM : 47 / 1307502)
2.      Annisa Listiorini         (No. Absen/NIM : 13 / 1306136)
3.      Tera Lawina Darajat   (No. Absen/NIM : 31 / 1306522)
4.      Maharani Larasati P.   (No. Absen/NIM : 46 / 1307346)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS SUMEDANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Disposisi matematis, kemandirian belajar (self-regulated), karakter dan motivasi” tepat pada waktunya. Rasa hormat dan ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Maulana, M.Pd., selaku dosen pengampu matakuliah Model Pembelajaran Matematika atas ilmu, bimbingan, motivasi, dan saran yang diberikan selama perkuliahan. Makalah ini akan membahas mengenai disposisi matematis, kemandirian belajar (self-regulated), karakter dan motivasi sebagai goals atau perilaku yang harus diperoleh peserta didik dalam pembelajaran matematika.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan do’a serta dukungan baik secara moril maupun materiil, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.      Bapak Maulana, M.Pd. selaku dosen pengampu matakuliah Model Pembelajaran Matematika.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi materi, tata bahasa, penulisan kalimat, maupun kajian teori. Oleh karena itu kami menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar kami dapat memperbaikinya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

                                                                                    Sumedang, 9 Mei 2016



         Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah...................................................................  1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................  2
1.3  Tujuan Pembahasan..........................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Konsep Disposisi Matematis............................................................   4
2.2  Konsep Kemandirian Belajar (Self Regulated)................................. 10
2.3  Konsep Karakter.............................................................................. 18
2.4  Konsep Motivasi.............................................................................. 25
BAB III PENUTUP
3.1  Simpulan........................................................................................... 33
3.2  Saran................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 35











BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah
Belajar pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi terhadap situasi dan lingkungan yang berada di sekitar individu. Belajar sendiri dilakukan agar terjadi perubahan perilaku sebagai tujuan dan proses berbuat melalui pengalaman. Perubahan yang dimaksud hendaknya terjadi sebagai akibat interaksi dengan lingkungannya. Konsep belajar, mengajar dan pengajaran melahirkan suatu konsep yakni pembelajaran yang merupakan salah satu upaya interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran matematika dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik yang dilakukan secara sadar dan dilakukan dengan tujuan peserta didik dapat memahami konteks metamatika yang diajarkan.  
Prestasi pembelajaran di sekolah tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif peserta didik, namun juga ditentukan oleh kemampuan afektif dari peserta didik. Kemampuan afektif yang yang harus dimiliki peserta didik yaitu disposisi matematis, kemandirian dalam belajar, motivasi, dan karakter. Peserta didik dikatakan baik jika peserta didik tersebut menyukai masalah-masalah yang merupakan tantangan serta melibatkan peserta didik secara langsung dalam menemukan atau menyelesaikan masalah. Pada prosesnya peserta didik akan merasakan timbulnya rasa kepercayaan diri dan kesadaran untuk melihat kembali hasil berpikirnya.
Selain itu, pada saat peserta didik mencoba untuk menyelesaikan suatu masalah proses tersebut juga akan melatihnya untuk mandiri dalam belajar. Tidak hanya melatih kemandirian belajar saja yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam kemampuan afektif ini. Karakter peserta didik juga yang harus dikembangkan, saat ini bukan hanya sekedar menilai dari kognitifnya saja, melainkan karakter atau pribadi yang baik dari peserta didik yang harus guru perhatikan. Karena setiap peserta didik mempunyai karakter yang berbeda-beda dan memberikan motivasi kepada peserta didik selama pembelajaran. Guru-guru seharusnya memberikan perhatian pada keterampilan tersebut selama pembelajaran karena peserta didik yang memiliki kemampuan dalam dirinya,  maka baik pula kemampuannya dalam menyusun strategi untuk mencapai kesuksesan di masa depan.
Maka dari itu, untuk meningkatkan kemampuan afektif yang diantaranya kemandirian dalam belajar, karakter, dan motivasi. Dalam pembelajaran diharuskan menggunakan model-model yang ada menjadi salahsatu cara alternatif yang dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran.

1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut ini.
1.2.1        Bagaimana konsep dari disposisi matematis sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika?
1.2.2        Bagaimana konsep dari kemandirian belajar (self regulated) sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika?
1.2.3        Bagaimana konsep dari karakter sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika?
1.2.4        Bagaimana konsep dari motivasi sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika?

1.3     Tujuan Pembahasan
Adapun beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam  penulisan makalah ini di antaranya sebagai berikut.
1.3.1        Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep disposisi matematis dalam pembelajaran matematika.
1.3.2        Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep kemandirian belajar (self regulated) dalam pembelajaran matematika.
1.3.3        Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep karakter sebagai goals afektif dalam pembelajaran matematika.
1.3.4        Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep motivasi sebagai goals afektif dalam pembelajaran matematika.

























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Konsep Disposisi Matematis
2.1.1.      Definisi Disposisi Matematis
Pembelajaran matematika tidak hanya ditujukan untuk mencapai tujuan kognitif saja melainkan mencapai tujuan afektif pula. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran matematika yaitu disposisi peserta didik terhadap matematika itu sendiri. Disposisi sendiri sebenarnya merupakan suatu kata resapan yang berasal dari bahasa Inggris yakni disposition yang berarti watak, pembagian, penempatan, penyusunan, pengaturan, atau kecondongan. Sumarno (dalam Herlina, 2013) mendefinisikan disposisi matematis sebagai keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri siswa atau mahasiswa untuk berpikir dan berbuat secara matematis. NCTM (dalam Trisniawati, 2013) menyatakan disposisi matematis adalah keterkaitan dan apresiasi terhadap matematika yaitu suatu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang positif.
Disposisi peserta didik terhadap pembelajaran matematika dapat terwujud melalui sikap dan tindakan dalam memilih alternatif dan menyelesaikan suatu masalah matematika. Senada dengan pendapat sebelumnya, Wardani (dalam Trisniawati, 2013) menegaskan disposisi matematis sebagai keterkaitan dan apresiasi terhadap matematika yaitu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dengan positif, termasuk kepercayaan diri, keingintahuan, ketekunan, antusias dalam belajar, gigih menghadapi permasalahan, fleksibel, mau berbagi dengan orang lain, reflektif dalam kegiatan matematik (doing math).
Katz (dalam Yunus, 2015) mendefinisikan disposisi sebagai kecenderungan untuk berperilaku secara sadar (consciously), teratur (frequently), dan sukarela (voluntary) untuk mencapai tujuan tertentu. Yang dimaksud dengan kecenderungan tersebut diantaranya yaitu percaya diri, gigih, ingin tahu dan berpikir fleksibel. Disposisi matematis dapat dilihat dari dua pandangan yaitu dalam konteks matematika disposisi matematis merupakan bagaimana sikap peserta didik dalam menyelesaikan masalah matematis apakah percaya diri, tekun, fleksibel dalam mengeksplorasi pemecahan masalah. Sedangkan pandangan lainnya yaitu dapat dilihat dari konteks pembelajaran yakni bagaimana peserta didik bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide matematis, bekerja secara kelompok dan menyelesaikan masalah.
Menurut Kilpatrick, Swafford dan Findel (dalam Mulyana, tanpa tahun) disposisi matematika adalah kecenderungan memandang matematika sebagai sesuatu yang dapat dipahami, merasakan matematika sebagai sesuatu yang berguna dan bermanfaat, meyakini usaha yang tekun dan ulet dalam mempelajari matematika akan membuahkan hasil dan melakukan perbuatan sebagai pembelajar dan pekerja matematika yang efektif. Lebih jelasnya Killpatrick, Swafford dan Findel (dalam Syaban, 2009) menamakan disposisi matematis sebagai productive disposition (disposisi produktif) yakni pandangan terhadap matematika sebagai sesuatu yang logis dan berguna.
Disposisi matematika peserta didik dapat dikembangkan seiring dengan mempelajari aspek kompetensi lainnya misalnya yaitu pemecahan masalah matematika yang didesain sedemikian mungkin sehingga dalam prosesnya mampu mengembangkan sikap disposisi matematis peserta didik. semakin banyak pemecahan masalah yang dapat dilakukan oleh peserta didik dan semakin banyak konsep yang dipahaminya maka peserta didik tersebut memiliki keyakinan bahwa matematika itu dapat dikuasainya. Hal yang akan terjadi sebaliknya jika peserta didik tidak diberikan tantangan berupa pemecahan masalah atau hanya diberikan persoalan matematika yang hanya untuk diselesaikan saja maka peserta didik tersebut hanya cenderung pandai menghafal saja. Sehingga pada ujungnya mereka akan mulai kehilangan rasa percaya diri sebagai pembelajar.
Disposisi matematis peserta didik merupakan faktor utama dalam menentukan kesuksesan pendidikan. Hal tersebut karena secara tidak langsung sikap disposisi matematis sangat mempengaruhi nyaman atau tidaknya seorang peserta didik dalam belajar matematika dengan rasa percaya dirinya. Ketika peserta didik merasa kapabel dalam belajar metamatika dan menggunakannya dalam memecahkan masalah, maka peserta didik tersebut akan mampu mengembangkan kemampuan keterampilan menggunakan prosedur dan penalaran adaptifnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa disposisi matematis yaitu kecenderungan sikap positif serta kebiasaan peserta didik untuk melihat, memahami dan menyelesaikan masalah matematika sebagai sesuatu yang logis dan memandang bahwa apa yang dilakukannya dalam proses pembelajaran matematika berguna bagi kehidupannya.

2.1.2.      Komponen Disposisi Matematis
Disposisi matematis memiliki beberapa komponen yang menjadi cirri khas atau karakter dari sikap tersebut. Menurut Maxwell (dalam Trisniawati, 2013) disposisi terdiri dari kecenderungan (inclination), kepekaan (sensitivity), kemampuan (ability) dan kesenangan (enjoyment). Yang dimaksud dengan kecenderungan yaitu bagaimana sikap peserta didik terhadap tugas-tugas. Sedangkan kepekaan yaitu bagaimana kesiapan peserta didik dalam menghadapi suatu tugas yang diberikan, dan kemampuan sendiri merupakan bagaimana peserta didik dapat fokus dalam menyelesaiakn tugas secara lengkap. Komponen terakhir yakni kesenangan yaitu bagaimana tingkah laku peserta didik dalam menyelesaikan tugas. Dengan melihat penjelasan tersebut maka tentu saja keempat komponen disposisi matematis saling berkaitan satu sama lain.
Menurut National Council of Teachers of Mathematics/NCTM (dalam Mulyana, tanpa tahun) disposisi matematika memuat tujuh komponen. Adapun komponen-komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)      Percaya diri dalam menggunakan matematika.
2)      Fleksibel dalam melakukan kerja matematika (bermatematika).
3)      Gigih dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugas matematika.
4)      Penuh memiliki rasa ingin tahu dalam bermatematika.
5)      Melakukan refleksi atas cara berpikir.
6)      Menghargai aplikasi matematika.
7)      Megapresiasi peranan matematika.

Penjelasan lebih lanjutnya bahwa percaya diri dalam menggunakan matematika biasanya termuat dalam suatu proses penyelesaian masalah, mengkomunikasikan ide matematis dan memberikasn argumentasi. Berpikir fleksibel sendiri merupakan salah satu komponen dari disposisi matematis dimana dalam mengeksplorasi ide matematis dan mencoba metode alternatif dalam penyelesaian masalah akan tercermin. Melakukan refleksi yaitu merespon kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima atau kegiatan yang telah dilakukan. Menghargai aplikasi matematika merupakan komponen dimana peserta didik selain mampu mengaplikasikan matematika mampu juga menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan atau pengaruh pada disiplin ilmu lain.
Ketujuh komponen disposisi matematika tersebut dimuat juga dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan atau kurikulum 2006. Lebih jelasnya tujuh komponen disposisi matematika sebagai kompetensi matematika dalam ranah afektif yang menjadi tujuan pendidikan matematika di sekolah menurut kurikulum 2006 atau Depdiknas (2006, hlm. 346) sebagai berikut.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Beberapa komponen disposisi matematika sebagai salah satu tujuan dari kurikulum KTSP dapat terwujud dalam pembelajaran matematika jika guru mampu memfasilitasi peserta didik dalam mengembangkan sikap tersebut. Selain itu guru juga harus memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar secara aktif dan mengalami sendiri setiap kegiatan dalam pembelajaran matematika baik itu berupa pemecahan masalah atau hanya pemahaman konsep matematika. Hal tersebut ditujukan agar anak mampu merasakan atau mengalami sendiri dan mendapatkan sikap disposisi matematis dalam pembelajaran matematika. Sehingga sikap disposisi matematis ini akan terus berkembang dan mempengaruhi prestasi peserta didik kearah yang positif.

2.1.3.      Indikator Disposisi Matematis
Sikap disposisi matematis dapat diukur dengan melihat beberapa indikator yang menjadi cirri khas dari sikap tersebut. Polking (dalam Herlina, 2013) mengemukakan beberapa indikator disposisi matematis di antaranya yaitu sebagai berikut ini.
1)      Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan.
2)      Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematis dan berusaha mencari metoda alternative dalam memecahkan masalah.
3)      Tekun mengerjakan tugas matematika.
4)      Minat rasa ingin tahu (curiosity), dan daya temu dalam melakukan tugas matematika.
5)      Cenderung memonitor, merepleksikan performance dan penalaran mereka sendiri.
6)      Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam matematika dan pengalaman sehari-hari.
7)      Apresiasi (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai matematika sebagai alat dan sebagai bahasa.

Indikator yang telah diungkapkan oleh Polking tidaklah jauh berbeda dari komponen diposisi matematis yang dicetuskan oleh NCTM. Adapun pendapat lain dari Killpatrick, Swafford dan Findell (dalam Syaban, 2009) bahwa indikator disposisi matematis dapat dirinci sebagai berikut.
1)      Menunjukkan gairah dalam belajar matematika.
2)      Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar.
3)      Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan.
4)      Menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.
5)      Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.
6)      Menunjukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain.
Lebih jelasnyanya lagi Wardani (dalam Trisniawati, 2013) mengungkapkan bahwa aspek-aspek yang diukur pada disposisi matematis adalah sebagai berikut ini.
1)      Kepercayaan diri dengan indikator percaya diri terhadap kemampuan atau keyakinan.
2)      Keingintahuan terdiri dari empat indikator yaitu sering mengajukan pertanyaan, melakukan penyelidikan, antusias atau semangat dalam belajar, banyak membaca atau mencari sumber lain.
3)      Ketekunan dengan indikator gigih, tekun, perhatian atau kesungguhan.
4)      Fleksibilitas terdiri dari tiga indikator yaitu kerjasama atau berbagi pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda, berusaha mencari solusi atau strategi lain.
5)      Reflektif terdiri dari dua indikator yaitu bertindak dan berhubungan dengan matematika dan menyukai atau rasa senang terhadap matematika.

Beberapa indikator yang telah disebutkan tersebut harus termuat dan terukur dalam pembelajaran matematika sebagai monitor dari ketercapaian disposisi matematis yang diharapkan dalam pembelajaran matematika.

2.1.4.      Cara Mengukur Pengembangan Disposisi Matematis
Disposisi matematis sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan prestasi hasil belajar peserta didik perlu diukur ketercapaiannya. Sikap disposisi peserta didik sebenarnya dapat diukur melalui pengamatan atau observasi guru terhadap peserta didik dan skala disposisi dimana hal tersebut tentunya merujuk kembali kepada beberapa indikator yang telah dibahas sebelumnya. Adapun skala disposisi matematis yang dapat digunakan harus memuat beberapa pernyataan-pernyataan masing-masing komponen dari disposisi matematis itu sendiri yang secara tidak langsung menjadi indikator disposisi matematis. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan contoh skala disposisi matematis menurut Wardani (dalam Trisniawati, 2013) yang bila dilihat dan dikaji lebih dalam dapat digunakan sebagai alat dalam mengukur indikator yang telah diungkapkan olehnya pada bagian sebelumnya.
Pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan pendapatmu!
SS : sangat setuju        S : setuju        
TS :tidak setuju           STS : sangat tidak setuju
No.
Pernyataan
Respon
SS
S
TS
STS
1
Belajar matematika menjadikan saya percaya diri.




2
Saya suka belajar matematika dari berbagai sumber




3
Saya percaya saya akan dapat menyelesaikan semua tugas.




4
Belajar matematika mendorong saya berpikir bebas.




5
Belajar matematika itu membosankan




6
Saya percaya mampu menyelesaikan soal yang kompleks.




7
Soal yang kompleks bagus menantang saya untuk menunjukkan kemampuan saya.




8
Belajar matematika membuat saya cemas.





Selain dengan menggunakan skala sikap telah disebutkan bahwa untuk mengukur disposisi matematis dapat dilakukan dengan observasi atau pengamatan. Melalui pengamatan, disposisi peserta didik dapat diketahui ada tidaknya perubahan pada saat peserta didik memperoleh atau mengerjakan tugas atau masalah matematika yang diberikan. Misalnya pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung dapat dilihat apakah peserta didik tersebut dalam menyelesaiakn soal matematika yang sulit benar-benar berusaha sehingga memperoleh jawaban yang benar atau hanya mencari jawaban seadanya dan mudah putus asa.

2.2  Konsep Kemandirian Belajar (Self Regulated)
2.2.1     Definisi Kemandirian Belajar (Self Regulated)
Kemandirian belajar merupakan suatu sikap afektif yang diharapkan dapat berkembang melalui pembelajaran matematika. Sikap afektif ini muncul dengan dilatarbelakangi oleh fenomena masih banyaknya pengaturan diri dalam belajar yang mempengaruhi kualitas pembelajaran. Perkembangan teknologi yang sangat pesat secara tidak langsung akan berdampak pada semakin banyaknya sumber belajar yang dapat diakses, hal ini sangant mendukung bagi peserta didik yang memiliki sikap kemadirian belajar. Sehingga kemandirian belajar ini sangat penting dikarenakan mempunyai tujuan agar dapat mengarahkan diri kearah perilaku positif yang dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran. Adapun beberapa definisi dari kemandirian belajar sebagai berikut ini.
1)      Corno dan Mandinah (dalam Yusmarini, 2009) mendefinisikan kemandirian belajar (self regulated learning) sebagai upaya memperdalam dan memanipulasi jaringan asosiatif dalam suatu bidang tertentu dan memantau serta meningkatkan proses pendalaman yang bersangkutan. Kemandirian belajar disini dipandang sebagai proses perancangan dan pemantauan diri terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan tugas akademik sehingga kemandirian belajar merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasi atau mengubah kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik tertentu.
2)      Printrich (dalam Melinda, dkk., 2015) mendefinisikan kemandirian belajar (self regulated learning) sebagai proses konstruktif ketika siswa menetapkan tujuan belajar sekaligus mencoba memantau, mengatur dan mengendalikan pengamatan motivasi, serta perilakunya yang dibatasi oleh tujuan belajar dan kondisi lingkungannya.
3)      Lebih singkat Zimmerman (dalam Melinda, dkk., 2015) mendefinisikan kemandirian belajar (self regulated) sebagai proses dimana siswa mengaktifkan dan mempertahankan kognisi, perilaku dan pengaruh yang sistematis berorientasi pada pencapaian tujuan mereka. Dalam sumber lain dikatakan bahwa Zimmerman membagi tiga tahap kemandirian dalam belajar yaitu berpikir jauh ke depan yakni suatu perencanaan kemandirian perilaku dengan cara menganalisis tugas dan tujuan, kinerja dan kontrol yaitu memonitor dan mengontrol perilakunya sendiri, kesadaran, motivasi dan emosi, dan yang terakhir yaitu refleksi diri yaitu menyatakan pendapat tentang kemajuan dirinya sendiri dan merubah sesuai dengan perilakunya.
4)      Knain dan Turmo (dalam Tandililing, 2011) sebagai seorang ahli psikologi menyatakan bahwa kemandirian beajar adalah suatu proses yang dinamik dimana peserta didik membangun pengetahuan, keterampilan dan sikap pada saat mempelajari konteks yang spesifik.
Konsep kemandirian belajar (self regulated learning) sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh Bandura melalui teori belajar sosial. Menurut Bandura (dalam Melinda, dkk., 2015) setiap individu memiliki kemampuan untuk mengontrol cara belajarnya dengan mengembangkan langkah-langkah mengobservasi diri, menilai diri dan memberikan respon bagi dirinya sendiri. Dengan demikian dari beberapa definisi kemandirian belajar tersebut dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar yaitu suatu sikap dan usaha peserta didik yang dilakukan secara sistematis untuk memfokuskan pikiran, perasaan dan perilaku pada pencapaian tujuan dalam belajar sehingga ia mampu membangun pengetahuan secara konstruktivisme dengan sendirinya tanpa bergantung kepada orang lain.

2.2.2     Karakteristik Kemandirian Belajar (Self Regulated)
Peserta didik yang memiliki kemandirian belajar dapat diamati melalui sikap dalam peroses pembelajaran. Beberapa peneliti telah mengemukakan karakteristik atau ciri khas perilaku peserta didik yang memiliki keterampilan kemadirian belajar (self regulated learning) seperti yang diungkapkan oleh Montalvo (dalam Melinda, dkk,. 2015) sebagai berikut ini.
1)      Terbiasa dengan dan tahu bagaimana menggunakan strategi kognitif (pengulangan, elaborasi dan organisasi) yang membantu mereka untuk memperhatikan, mentrasformasi, mengorganisasi, mengelaborasi dan menguasai informasi.
2)      Mengetahui bagaimana merencanakan, mengorganisasikan dan mengarahkan proses mental untuk mencapai tujuan personal (metakognisi).
3)      Memperlihatkan seperangkat keyakinan motivasional dan emosi yang adaptif, seperti tingginya keyakinan diri secara akademik, memiliki tujuan belajar, mengembangkan emosi positif terhadap tugas (senang, puas, antusias), memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasinya, serta menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas dan situasi belajar khusus.
4)      Mampu merencanakan, mengontrol waktu dan memiliki usaha terhadap penyelesaian tugas, tahu bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan seperti mencari tempat belajar yang sesuai atau mencari bantuan dari guru dan teman jika menemui kesulitan.
5)      Menunjukkan usaha yang besar untuk berpartisipasi dalam mengontrol dan mengatur tugas-tugas akademik, iklim dan struktur kelas.
6)      Mampu melakukan strategi disiplin yang bertujuan menghindari gangguan internal dan eksternal, menjaga konsentrasi, usaha dan motivasi selama menyelesaikan tugas.
Lebih sederhana lagi Anton Sukarno (dalam Teguh, 2012) mengungkapkan beberapa cirri kemandirian belajar diantaranya yaitu.
1)      Siswa merencanakan dan memilih kegiatan belajar sendiri.
2)      Siswa berinisiatif dan memacu diri untuk belajar secara terus menerus.
3)      Siswa dituntut untuk bertanggung jawab dalam belajar.
4)      Siswa belajar secara kritis, logis dan penuh keterbukaan.
5)      Siswa belajar dengan penuh percaya diri.
Dari beberapa karakteristik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa peserta didik yang memiliki sikap kemandirian belajar dapat berperilaku secara positif. Hal tersebut dikarenakan bahwa peserta didik mampu mengontrol dirinya, merencanakan pembelajaran, bertanggung jawab serta menggunakan kemampuan berpikirnya dengan penuh rasa percaya diri. Dengan demikian peserta didik yang mempunyai sikap kemandirian belajar akan memiliki sikap ketidaktergantungan terhadap orang lain dan mampu mengurus dirinya sendiri baik dalam pemecahan masalah ataupun beberapa hal lainnya.


2.2.3     Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar (Self Regulated)
Kemandirian belajar yang nampak dalam suatu individu tidaklah muncul begitu saja dengan sendirinya. Tentunya terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi kemandirian belajar. Menurut Zimmerman (dalam Melinda, dkk., 2015) setidaknya terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar (self regulated learning) diantaranya yaitu sebagai berikut ini.
1)      Faktor pribadi, peserta didik dapat menggunakan proses pribadi untuk mengatur strategi perilaku dan lingkungan belajar segera.
2)      Faktor perilaku, peserta didik secara proaktif menggunakan strategi self evaluation sehingga mendapatkan informasi tentang akurasi dan apakah harus terus memerikasi melalui umpan balik enactive.
3)      Faktor lingkungan, peserta didik proaktif menggunakan strategi manipulasi lingkungan yang melibatkan intervensi ruang urutan perilaku, mengubah respon seperti menghilangkan kebisingan, mengatur pencahayaan yang memadai dan mengatur tempat untuk menulis.
Sedangkan Sumadi Suryabrata (dalam Aprilia, 2013) membagi dua faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu suatu faktor yang berasal dari luar diri peserta didik meliputi faktor sosial dan nonsosial. Faktor sosial yaitu faktor yang berhubungan dengan manusia, baik manusia tersebut secara langsung hadir atau tidak diantaranya meliputi keluarga, teman, guru dan lainnya. Sedangkan faktor nonsosial yaitu suatu hal yang berasal dari luar selain manusia meliputi keadaan udara, suhu, cuaca, waktu, tempat dan alat lainnya yang dipakai untuk belajar. Lain lagi dengan faktor internal yaitu suatu faktor berasal dari dalam diri peserta didik sebagai individu diantaranya yaitu faktor fisiologis dan psikologis. Fisiologis meliputi kondisi fisik peserta didik baik itu kesehatan dan lain sebagainya sedangkan psikologis merupakan kondisi mental dari peserta didik meliputi bakat, minat, sikap mandiri, motivasi, kecerdasan dan lainnya.
2.2.4     Indikator Perkembangan Kemandirian Belajar (Self Regulated)
Indikator kemandirian belajar sebagai suatu indikasi yang menandakan atau memperlihatkan perkembangan kemandirian belajar peserta didik dijadikan sebagai tolak ukur dalam evaluasi pembelajaran. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (dalam Melinda, dkk., 2015) indikator kemandirian belajar dapat dirinci sebagai berikut.
1)      Kesadaran akan tujuan belajar.
2)      Kesadaran akan tanggung jawab belajar.
3)      Kontiunitas belajar.
4)      Keaktifan belajar.
5)      Efisiensi belajar.
Kesadaran akan tujuan belajar dapat terlihat jika peserta didik benar-benar mengetahui dan menyadari tujuan dari pembelajaran baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Kesadaran akan tanggung jawab belajar dapat meliputi kesadaran peserta didik dalam belajar teratur, disiplin, bersemangat dan berkonsentrasi sehingga peserta didik tersebut bertanggung jawab terhadap pentingnya belajar. Kontiunitas belajar yaitu belajar secara berkesinambungan seperti mengulangi bahan pelajaran, menghafal bahan pelajaran, mengerjakan tugas yang diberikan guru dan membuat ringkasan dan ikhtisar yang dilakukan setiap akhir pembelajaran. Keaktifan belajar yaitu bentuk partisipasi peserta didik terhadap pembelajaran diantaranya gemar membaca, menghubungkan pelajaran dan bahan yang dikuasi, aktif dan kreatif dalam kerja kelompok dan bertanya apabila ada sesuatu yang tidak dimengerti. Efisiensi belajar yaitu belajar secara teratur dan efektif.
Selain itu terdapat banyak sekali indikator tentang kemandirian belajar peserta didik. Namun berdasarkan pendapat sejumlah penulis, Sumarno (dalam Budiyanto & Rohaeti, 2014) merangkum indikator kemandirian belajar yang meliputi delapan poin indikator sebagai berikut.
1)      Inisiatif dan motivasi belajar intrinsik.
2)      Kebiasaan mendiagnosa kebutuhan belajar.
3)      Menetapkan tujuan/target belajar.
4)      Memonitor, mangatur dan mengkontrol belajar.
5)      Memandang kesulitan sebagai tantangan.
6)      Memilih menerapkan strategi belajar.
7)      Mengevaluasi proses dan hasil belajar
8)      Konsep diri atau kemampuan diri.

2.2.5     Strategi Mengembangkan Kemandirian Belajar (Self Regulated)
Zumbrunn, dkk. (dalam Melinda, dkk., 2015) menyatakan bahwa ada delapan strategi pembentukan kemandirian belajar (self regulated learning) peserta didik, diantaranya yaitu sebagai berikut ini.
1)      Goal setting, tujuan dianggap sebagai standar yang mengatur tindakan individu. Beberapa tujuan jangka pendek sebenarnya dapat menjadi aspirasi jangka panjang contohnya jika seorang peserta didik menset tujuan jangka panjang yakni bisa lulus ujian dengan baik maka secara tidak langsung peserta didik tersebut akan menset tujuan jangka pendek seperti menetapkan waktu belajar dan menggunakan strategi khusus untuk keberhasilan ujian.
2)      Planning, tidak jauh berbeda dengan goal setting yakni suatu rencana agar dapat membantu peserta didik mengatur diri sebelum terlibat dalam tugas-tugas belajar.
3)      Self motivation, yaitu suatu motivasi kemandirian belajar dalam diri peserta didik yang menjadikan peserta didik bertahan melalui tugas yang sulit dan menemukan proses belajar yang memuaskan.
4)      Attention control, peserta didik dapat mengendalikan perhatian mereka dengan cara menghindari hal yang mengganggu pikiran serta mengkondisikan lingkungan belajar agar kondusif.
5)      Fleksibel use of strategies, peserta didik menggunakan strategi belajar untuk memfasilitasi kemajuan mereka guna mencapai tujuan yang meliputi mencata, menghafal, berlatih dan sebagainya.
6)      Help seeking, peserta didik mencoba mencari bantuan bila diperlukan agar dapat memahami pembelajaran untuk pencapaian tujuan.
7)      Self evaluation, peserta didik dapat mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri terlepas dari penilaian guru.
Adapun pendapat yang dikemukakan oleh Bonson (dalam Aprilia, 2013) bahwa kemandirian peserta didik dapat ditingkatkan dalam beberapa prinsip diantanya yaitu sebagai berikut.
1)      Melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran.
2)      Memberikan pilihan sumber pembelajaran.
3)      Memberikan kesempatan untuk memilih dan memutuskan.
4)      Memberikan semangat kepada siswa.
5)      Mendorong siswa melakukan refleksi.
Dengan beberapa prinsip atau strategi tersebut maka diharapkan peserta didik dapat mengembangkan rasa atau sikap kemandirian belajarnya. Karena beberapa strategi tersebut ditujukan agar peserta didik memiliki sikap ketidaktergantungan terhadap orang lain dan mampu mengontrol dirinya dan mengembangkan serta memperbaiki kemampuan dalam diri.

2.2.6     Penilaian Kemandirian Belajar (Self Regulated)
Penilaian kemandirian belajar dalam pembelajaran matematika sama seperti penilaian sikap atau afektif lainnya yakni bisa melalui pengamatan atau observasi langsung terhadap peserta didik ataupun bisa dengan menggunakan angket skala kemandirian belajar. Adapun contoh dari skala kemandirian belajar dapat dilihat dari kuesioner berikut ini yang merujuk kepada indikator yang telah disebutkan sebelumnya.
Petunjuk :       
SS        : Sangat Sering                        Jr         : Jarang
Sr         : Sering                                    TP        : Tidak Pernah
No.
Kegiatan atau Perasaan
Respon
SS
Sr
Jr
TP
1
Menunggu bantuan ketika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal.




2
Mempelajari ulang materi yang belum dikuasai.




3
Mencari sebab kegagalan sendiri dalam ulangan matematika.




4
Mencari cara lain ketika salah menyelsaikan soal matematika.




5
Berpendapat bahwa soal matematika yang sulit menghambat keberhasilan belajar.




6
Mempelajari beragam buku matematika.




7
Merasa ragu dapat menyelesaikan soal matematika yang sulit dengan baik.




8
Dapat menerima cara yang berbeda dalam menyelesaikan soal.






2.3  Konsep Karakter
2.3.1     Definisi Karakter dan Pendidikan Karakter
Akar dari semua perbuatan baik dan buruk bersumber dari suatu kualitas karakter. Karakter sendiri dapat dimaknai sebagai suatu cara berpikir atau berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan ruang lingkup lainnya yang lebih luas yang terwujud dalam suatu pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan pebuatan. Jika dilihat secara bahasa dan merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekertiyang membedakan seseorang dengan yang lain. Banyak sekali definisi dari para ahli mengenai karakter diantaranya yaitu menurut Samani dan Hariyanto (2012, hlm. 43) karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari suatu konsep karakter, akhir-akhir ini terlahir suatu konsep dalam pendidikan yang berkaitan dengan karakter yaitu pendidikan karakter. Secara sederhana pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai hal positif apa saja yang dilakukan oleh guru dan berpengaruh kepada karakter peserta didik yang dididiknya. Hal tersebut senada dengan pendapat Winton (dalam Samani & Hariyanto, 2012, hlm. 43) bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai juga sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang semuanya itu sama-sama mempunyai tujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
2.3.2     Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sudah menjadi hal yang sangat penting untuk diimplementasikan dalam lingkungan belajar peserta didik, baik di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Mengingat sudah terjadinya krisis moral yang terjadi saat ini, dimana pergaulan bebas semakin meningkat, maraknya angka kekerasan pada peserta didik, kejahatan, pencurian, slaing menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, kemudian prostitusi dan masalah sosial lain yang berkaitan dengan moral peserta didik sebagai pebelajar yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan secara tuntas merupakan hal yang mengacu pada pentingnya pendidikan karakter.
Menurut Kementrian Pendidikan Nasional (Fitri, dalam Sobandi, dkk., 2014), yang menjadi tujuan pendidikan karakter ialah sebagai berikut.
1)        Mengembangkan potensi nurani atau afektif peserta didik sebagi manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
2)        Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
3)        Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
4)        Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
5)        Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Sementara itu, menurut Lickona (Sudrajat, Tanpa tahun) terdapat tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan, yaitu sebagai berikut.
1)        Merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (peseta didik) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya.
2)        Merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik.
3)        Sebagian pesreta didik tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain.
4)        Mempersiapkan peserta didik untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam.
5)        Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan masalah moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah.
6)        Merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja.
7)        Mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari kerja peradaban.

2.3.3     Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Sudrajat (Tanpa tahun) mngemukakan, bahwa strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah dapat dilaksanakan melalui empat cara, yaitu pembelajaran (teaching), keteladanan (modelling), penguatan (reinforcing), dam pembiasaan (habituating). Berikut ini penjelasannya.
1)        Penanaman atau penerapan nilai-nilai dapat disampaikan oleh guru dalam pembelajaran (teaching) baik secara langsung (sebagai mata pelajaran) maupun diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran.
2)        Nilai-nilai yang menjadi prioritas utama untuk diterapkan dan ditanamkan kepada peserta didik haruslah dimodelkan (modelling) oleh seluruh warga sekolah, tidak hanya guru tetapi bisa juga kepala sekolah, penjaga, petugas kebersihan, dan lain-lain.
3)        Nilai-nilai tersebut harus diperkuat (reinforcing) oleh penataan lingkungan dan kegiatan-kegiatan di sekolah yang menuju pada terbentuknya suasana sekolah yang berkarakter terpuji, seperti dengan ditempelkannya spanduk-spanduk atau majalah dinding. Penguatan juga dapat dilakukan dengan melibatkan komponen keluarga dan masyarakat. Dimana keluarga akan lebih peduli terhadap perilaku anak-anaknya, sedangkan masyarakat akan menjadi wadah praktik bagi peseta didik dan sebagai alat kontrol dalam mengembangkan karakter yang telah ditanamkan di sekolah, sehingga perlu adanya komunikasi yang efektif antara pihak sekolah, keluarga dengan masyarakat.
4)        Pembiasaan (habituating) dapat dilakukan di sekolah dengan berbagai cara dan menyangkut banyak hal seperti disiplin waktu, etika berpakaian, etika pergaulan, perlakuan peseta didik terhadap karyawan, guru, peserta didik, dan pimpinan, dan sebaliknya. Pembiasaan yang dilakukan oleh pimpinan, guru, peserta didik, dan karyawan, dalam disiplin suatu lembaga pendidikan merupakan langkah yang sangat strategis dalam membentuk karakter secara bersama.

2.3.4     Nilai Pendidikan Karakter
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama, sehingga apapun harus didasari oleh agama, kemudian bahwa Indonesia memiliki pancasila sebagai sumber nilai yang menjadi prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga budaya sebagai sumber nilai yang mempengaruhi kepribadian seseorang, dan tidak lupa pendidikan sebagai wadah dalam mewujudkan manusia yang berkarakter (Puskur, Sudrajat, Tanpa tahun). Nilai-nilai yang ditanamkan dan dikembangkan di sekolah di Indonesia sebagai berikut.
1)        Religius
Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas keagamaan, seperti tempat ibadah, kegiatan keagamaan, membiasakan membaca doa sebelum dan setelah belajar.
2)        Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Contohnya dengan cara membuka kantin kejujuran di sekolah ini akan membantu peserta didik dalam bersikap jujur pada saat jajan.
3)        Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Contohnya, tidak membeda-bedakan antara seseorang dengan orang lainnya, tidak memandang seseorang berdasarkan suku, warna kulit, bahasa daerah, dan lain-lain, menghargai orang yang berbeda agama ketika sedang beribadah.
4)        Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Contohnya, melaksanakan tata tertib yang ada di sekolah, seperti datang tepat waktu, mengerjakan tugas tepat waktu, dan melaksanakan piket kelas sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
5)        Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Contohnya, menyediakan penghargaan bagi siswa yang berprestasi sehingga akan menimbulkan semangat bagi siswa dan akan bekerja keras untuk bisa mendapatkanya. Bisa juga dengan penghargaan kelas terbersih, sehingga warga kelas dapat bekerja keras untuk membuat kelas selalu bersih.
6)        Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Contohnya, bisa melalui kegiatan atau lomba suatu karya yang dapat memunculkan karya yang baru sebagai hasil kreasi siswa, dan akhirnya dapat diberi penghargaan.
7)        Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Contohnya dengan menciptakan suasana sekolah yang dapat menumbuhkan kemandirian bagi setiap siswa, kemudian diberikan tugas-tugas secara individu.
8)        Demokratis
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Contohnya dengan melibatkan semua warga sekolah dalam membuat suatu kebijakan, dibudayakan bermusyawarah mufakat dalam penyelesaian permasalahan baik di dalam kelas maupun di luar kelas, dan bersikap tidak memaksakan kehendak sendiri.
9)        Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Contohnya, diadakan fasilitas informasi yang dapat membuat siswa menjadi tumbuh rasa ingin tahunya terhadap segala macam informasi baru. Siswa diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan dalam rangka menambah pengetahuan dan wawasan.
10)    Semangat kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Contohnya, pelaksanaan upacara bendera dan hari besar nasional lainnya, juga meneladani sikap dan sifat para pahlawan nasional.

2.3.5     Penilaian Hasil Belajar
Penilaian pencapaian pendidikan karakter didasarkan pada indikator yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, indikator untuk nilai mandiri di suatu semester dirumuskan dengan “melaksanakan suatu tugas secara mandiri tanpa tergantung pada orang lain”, maka guru mengamati (melalui berbagai cara) apakah peserta didik itu melaksanakan suatu tugas secara mandiri tanpa tergantung pada orang lain atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap dan kemampuan siswa dalam mengerjakan tugas tersebut.
Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Selain itu, guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya.
Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya, guru dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan atau pertimbangan itu dapat dinyatakan dalam pernyataan kualitatif sebagai berikut (Sudrajat, Tanpa tahun).
1)        BT : Belum Terlihat (apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator).
2)        MT : Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten).
3)        MB : Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten).
4)        MK : Membudaya (apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten) (Balitbang Puskur, dalam Sudrajat, Tanpa tahun).
Kemudian terdapat penilaian karakter dalam pembelajaran matematika seperti yang dikemukakan oleh Sumarmo (2011), bahwa butir skala penilaian karakter dapat diuraikan sebagai berikut.
Keterangan:
SS = Sering Sekali              Sr = Sering                  Kd = Kadang-kadang
Jr = Jarang                          JS = Jarang Sekali
No
Kegiatan dan Pendapat
SS
Sr
Kd
Jr
JS
1
Merasa kurang nyaman belajar matematika berkelompok dengan teman berbeda agama/budaya





2
Berpendapat bahwa belajar matematika disertai dengan doa membuat perasaan nyaman





3
Merasa tertantang mengerjakan tugas matematika yang kompleks





4
Berpendapat bahwa cara berpikir matematika perlu dibudayakan





5
Berpendapat bahwa bersaing dalam cerdas cermat matematika menghambat rasa cinta damai





6
Berpartisipasi dalam kegiatan matematika internasional menumbuhkan rasa kebangsaan






2.4  Konsep Motivasi
2.4.1     Definisi Motivasi
Motivasi memiliki peranan yang sangat penting dalam pembelajaran. Motivasi sendiri data didefinisikan sebagai suatu suatu dorongan atau kekuatan yang dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi berasal dari bahasa latin yakni movere yang berarti menggerakkan.
Berbicara mengenai motivasi tentunya tidak terlepas dari kata motif yang berarti dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Menurut Prayitno dan Amti (2004, hlm. 156) motif yang sedang aktif biasa disebut dengan motivasi yang kekuatannya dapat meningkat sampai pada taraf yang amat tinggi. Morgan (dalam Majid, 2015, hlm. 308) mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek-aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan daripada tingkah laku tersebut (goals or end of such behavior).
Motivasi merupakan suatu penggerak dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu atau mencapai suatu tujuan. Sehingga motivasi dalam pembelajaran matematika diharapkan meningkat agar peserta didik merasa bersemangat dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika. Selain itu motivasi merupakan suatu perencanaan atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari segala kegagalan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu energi yang aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada diri seseorang yang tampak pada gejala psikologis untuk menimbulkan atau meningkatkan dorongan dalam mewujudkan perilaku atau tindakan tertentu yang terarah kepada pencapaian tujuan. Perilaku belajar yang terjadi dalam proses pembelajaran yaitu pencapaian tujuan pembelajaran dan hasil belajar.

2.4.2     Jenis-jenis Motivasi
Motivasi tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang, secara umum bentuk daripada motivasi tersebut dapat berupa datang dalam diri individu itu sendiri atau disebut motivasi intrinsik, ataupun datang dari lingkungan disebut motivasi ekstrinsik. Adapun penjabaran dari bentuk-bentuk motivasi tersebut diantaranya sebgaai berikut.
1)      Motivasi Instrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dan dorongan dari orang lain, tetapi atas kemauan sendiri, misalnya siswa belajar karena ingin mengetahui seluk beluk suatu masalah selengkap-lengkapnya, ingin menjadi orang yang terdidik, semua keinginan itu berpangkal pada penghayatan kebutuhan dari siswa berdaya upaya, melalui kegiatan belajar untuk memenuhi kebutuhan itu. Namun sekarang kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi dengan belajar giat, tidak ada cara lain untuk menjadi orang terdidik atau ahli, lain belajar.
2)      Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau belajar. Winkel (dalam Mulyana, 2016) mengatakan bahwa “Motivasi Ekstrinsik, aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan kebutuhan dan dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar sendiri”. Motivasi belajar ekstrinsik dapat digolongkan menjadi enam bagian yaitu sebagai berikut ini.
a)      Belajar demi memenuhi kewajiban.
b)      Belajar demi menghindari hukuman.
c)      Belajar demi memperoleh hadiah materi yang dijanjikan.
d)     Belajar demi meningkatkan gengsi sosial.
e)      Belajar demi memperoleh pujian dari orang yang penting (guru dan orang tua).
f)       Belajar demi tuntutan jabatan yang ingin dipegang atau demi memenuhi persyaratan kenaikan jenjang/golongan administrasi.



2.4.3     Fungsi Motivasi
Motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai banyak fungsi terhadap hasil pembelajaran peserta didik. adapun fungsi motivasi menurut Sadirman (dalam Majid, 2015, hlm. 309) diantaranya sebagai berikut ini.
1)      Mendorong manusia untuk berbuat. Artinya motivasi bisa dijadikan sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi, dengan demikian motivasi dalam hal ini sebagai motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2)      Menentukan arah perbuatan kea rah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3)      Menyeleksi perbuatan yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisikan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

2.4.4     Karakteristik Peserta Didik yang Memiliki Motivasi Belajar
Martin (dalam Aprianza, 2012) mengemukakan bahwa untuk mengetahui kekuatan motivasi belajar siswa, dapat dilihat dari beberapa cirri-ciri atau karakteristik peserta didik sebagai berikut:
1)      Kuatnya kemauan untuk berbuat.
2)      Jumlah waktu yang disediakan untuk belajar.
3)      Kerelaan meninggalkan kewajiban atau tugas yang lain.
4)      Ketekunan dalam mengerjakan tugas.
Sedangkan menurut Sudirman (dalam Aprianza, 2012) karakteristik peserta didik yang memiliki motivasi belajar adalah sebagai berikut.
1)      Tekun menghadapi tugas.
2)      Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa).
3)      Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah orang dewasa.
4)      Lebih senang bekerja mandiri.
5)      Cepat bosan pada tugas-tugas rutin.
6)      Dapat mempertahankan pendapatnya.

2.4.5     Indikator Motivasi Belajar
Motivasi belajar yang sebelumnya sudah dipaparkan penjelasannya secara operasional dapat diukur melalui beberapa indikator. Makmun (dalam Kurnia, 2013, hlm. 35) menyebutkan beberapa indikator beserta deskripsinya, diantaranya:
1)      Durasi kegiatan belajar yang berkaitan dengan berapa lama kemampuan penggunaan waktu belajar.
2)      Frekuensi kegiatan belajar, yaitu seberapa sering kegiatan belajar dilakukan dalam periode waktu tertentu.
3)      Persistensi pada tujuan kegiatan belajar, yaitu seberapa tetap dan lekat terhadap tujuan kegiatan belajar.
4)      Ketabahan, keuletan, dan kemampuan dalam menghadapi kesulitan untuk mencapai tujuan kegiatan belajar.
5)      Devosi (pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran, bahkan jiwa) untuk mencapai tujuan kegiatan belajar.
6)      Tingkatan aspirasi kegiatan belajar, yaitu maksud, cita-cita, rencana, sasaran atau target yang hendak dicapai dengan kegiatan belajar yang dilakukan.
7)      Tingkatan kualifikasi prestasi kegiatan, yaitu prestasi yang dicapai dari kegiatan belajar.
8)      Arah sikapnya terhadap sasaran kegiatan belajar, sikap positif atau negatif terhadap kegiatan belajar.
Di sisi lain Uno (dalam Wahyono, 2014) menyebutkan klasifikasi indikator pendorong motivasi belajar sebagai berikut:
1)      Adanya hasrat dan keinginan berhasil. Hasrat dan keinginan untuk berhasil dalam belajar dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya disebut motif berprestasi, yaitu motif untuk berhasil dalam melakukan suatu tugas dan pekerjaan atau motif untuk memperolah kesempurnaan. Motif semacam ini merupakan unsur kepribadian dan prilaku manusia, sesuatu yang berasal dari ‘’dalam’’ diri manusia yang bersangkutan. Motif berprestasi adalah motif yang dapat dipelajari, sehingga motif itu dapat diperbaiki dan dikembangkan melalui proses belajar. Seseorang yang mempunyai motif berprestasi tinggi cenderung untuk berusaha menyelesaikan tugasnya secara tuntas, tanpa menunda-nunda pekerjaanya. Penyelesaian tugas semacam ini bukanlah karena dorongan dari luar diri, melainkan upaya pribadi.
2)      Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar. Penyelesaian suatu tugas tidak selamanya dilatar belakangi oleh motif berprestasi atau keinginan untuk berhasil, kadang kala seorang individu menyelesaikan suatu pekerjaan sebaik orang yang memiliki motif berprestasi tinggi, justru karena dorongan menghindari kegagalan yang bersumber pada ketakutan akan kegagalan itu. Seorang anak didik mungkin tampak bekerja dengan tekun karena kalau tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik maka dia akan mendapat malu dari dosennya, atau di olok-olok temannya, atau bahkan dihukum oleh orang tua. Dari keterangan diatas tampak bahwa ‘’keberhasilan’’ anak didik tersebut disebabkan oleh dorongan atau rangsangan dari luar dirinya.
3)      Adanya harapan dan cita-cita masa depan. Harapan didasari pada keyakinan bahwa orang dipengaruhi oleh perasaan mereka tantang gambaran hasil tindakan mereka contohnya orang yang menginginkan kenaikan pangkat akan menunjukkan kinerja yang baik kalau mereka menganggap kinerja yang tinggi diakui dan dihargai dengan kenaikan pangkat.
4)      Adanya penghargaan dalam belajar. Pernyataan verbal atau penghargaan dalam bentuk lainnya terhadap prilaku yang baik atau hasil belajar anak didik yang baik merupakan cara paling mudah dan efektif untuk meningkatkan motif belajar anak didik kepada hasil belajar yang lebih baik. Pernyataan seperti ‘’bagus’’, ‘’hebat’’ dan lain-lain disamping akan menyenangkan siswa, pernyataan verbal seperti itu juga mengandung makna interaksi dan pengalaman pribadi yang langsung antara siswa dan guru, dan penyampaiannya konkret, sehingga merupakan suatu persetujuan pengakuan sosial, apalagi kalau penghargaan verbal itu diberikan didepan orang banyak.
5)      Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar. Baik simulasi maupun permainan merupakan salah satu proses yang sangat menarik bagi siswa. Suasana yang menarik menyebabkan proses belajar menjadi bermakna. Sesuatu yang bermakna akan selalu diingat, dipahami, dan dihargai. Seperti kegiatan belajar seperti diskusi, brainstorming, pengabdian masyarakat dan sebagainya.
6)      Adanya lingkungan belajar yang kondusif. Pada umumnya motif dasar yang bersifat pribadi muncul dalam tindakan individu setelah dibentuk oleh lingkungan. Oleh karena itu motif individu untuk melakukan sesuatu misalnya untuk belajar dengan baik, dapat dikembangkan, diperbaiki, atau diubah melalui belajar dan latihan, dengan perkataan lain melalui pengaruh lingkungan Lingkungan belajar yang kondusif salah satu faktor pendorong belajar anak didik, dengan demikian anak didik mampu memperoleh bantuan yang tepat dalam mengatasi kesulitan atau masalah dalam belajar.

2.4.6     Strategi Mengembangkan atau Membangkitkan Motivasi
Motivasi peserta didik tentunya akan selalu berjalan dinamis kadang sangat tinggi kadang pula bisa menjadi sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan beberapa strategi yang dapat membangkitkan motivasi peserta didik. Ali Imron (dalam Siregar & Nara, 2010, hlm.55) mengemukakan empat upaya yang dapat dilakukan oleh guru guna meningkatkan motivasi belajar peserta didik diantaranya sebagai berikut.
1)      Mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip belajar. Prinsip yang dapat dilakukan guru dalam melaksanakan pembelajaran diantaranya yaitu menarik perhatian, menyampaikan tujuan pembelajaran, mengingatkan konsep yang telah dipelajari, menyampaikan materi pelajaran, memberikan bimbingan belajar, memperoleh kinerja atau penampilan peserta didik, memberikan balikan, menilai hasil belajar dan memperkuat retensi dan transfer belajar.
2)      Mengoptimalkan unsur-unsur dinamis pembelajaran. Hal tersebut dapat dilakukan oleh guru dengan mengadakan variasi pembelajaran agar pembelajaran berjalan dinamis disesuaikan dengan perhatian peserta didik supaya tidak berjalan monoton.
3)      Mengotimalkan pemanfaatan upaya guru dalam membelajarkan peserta didik. Hal tersebut dapat ditunjukkan apabila guru memiliki gairah yang tinggi dalam mengajar dan menyajikan pembelajaran secara menarik. Selain itu pemberian penghargaan untuk memotivasi perlu dilakukan oleh guru dalam meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar lebih baik lagi.
4)      Mengembangkan aspirasi dalam belajar. Hal ini dapat pula dilakukan dengan mengenali minat dan kepribadian peserta didik, bagaimana tanggapan mereka terhadap materi pembelajaran dan apa minat, cita-cita dan harapan dan kekhawatiran mereka terhadap pembelajaran.





















BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Disposisi matematis yaitu kecenderungan sikap positif serta kebiasaan peserta didik untuk melihat, memahami dan menyelesaikan masalah matematika sebagai sesuatu yang logis dan memandang bahwa apa yang dilakukannya dalam proses pembelajaran matematika berguna bagi kehidupannya. Selain itu, terdapat tujuh komponen dalam disposisi matematis diataranya percaya diri dalam menggunakan matematika, fleksibel dalam melakukan kerja matematika (bermatematika), gigih dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugas matematika, penuh memiliki rasa ingin tahu dalam bermatematika, melakukan refleksi atas cara berpikir, menghargai aplikasi matematika, dan mengapresiasi peranan matematika. Kemandirian belajar yaitu suatu sikap dan usaha peserta didik yang dilakukan secara sistematis untuk memfokuskan pikiran, perasaan dan perilaku pada pencapaian tujuan dalam belajar sehingga ia mampu membangun pengetahuan secara konstruktivisme dengan sendirinya tanpa bergantung kepada orang lain.
Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai juga sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang semuanya itu sama-sama mempunyai tujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Motivasi adalah suatu energi yang aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada diri seseorang yang tampak pada gejala psikologis untuk menimbulkan atau meningkatkan dorongan dalam mewujudkan perilaku atau tindakan tertentu yang terarah kepada pencapaian tujuan. Perilaku belajar yang terjadi dalam proses pembelajaran yaitu pencapaian tujuan pembelajaran dan hasil belajar.

3.2  Saran
Sikap afektif perlu dimunculkan pada pembelajaran matematika disamping keterampilan kognitif dan psikomotor. Disposisi matematis, kemandirian belajar, karakter dan motivasi merupakan beberapa goals afektif yang harus tercapai dari pembelajaran matematika. Oleh karena itu guru diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan memberikan keleluasaan bagi peserta didik dalam mengeluarkan pendapat, berinisiatif dan berpikir secara mandiri berdasarkan pertimbangan sendiri untuk membantu mengaktifkan dan menumbuhkan sikap kemandirian belajar dan membentuk disposisi matematis. Guru juga harus mampu menanamkan dan mengembangkan karakter positif peserta didik dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Selain itu guru harus pandai mengevaluasi beberapa sikap afektif yang diharapkan tersebut yang kemudian dapat dijadikan sebagai evaluasi dalam pengembangan pembelajaran dan pembentukan sikap afektif peserta didik.















DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, L.K. (2013). Kemandirian dalam belajar. [Online]. Diakses dari: http:// coretanpenasihijau.blogspot.com/2013/09/tugas-kuliah-makalah-kemandirian-dalam.html.
Aprianza, L. (2012). Indikator-indikator motivasi belajar siswa. [Online]. Diakses dari: http://akatsuki-kamikaze.blogspot.co.id/2012/05/indikator-indikator-motivasi-belajar.html.
Budiyanto & Rohaeti, E.E. (2014). Mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan kemandirian belajar siswa SMA melalui pembelajaran berbasis masalah. [Online]. Diakses dari: https://www.google.co.id/url?sa= t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjux4Ohh8fMAhVHj44KHYy9CWQQFgg6MAM&url=http%3A%2F%2Fjournal.fpmipa.upi.edu%2Findex.php%2Fjpmipa%2Farticle%2Fdownload%2F457%2Fpdf_17&usg=AFQjCNEiMevz4S0jUOFQip26Kc_9dahEVQ&bvm=bv.121421273,d.c2E
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Herlina, E. (2013). Meningkatkan disposisi berpikir kreatif matematis melalui pendekatan APOS. [Online]. Diakses dari: https://www.google.co.id/ url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjFhPjBgMfMAhUUkI4KHXnxAIAQFghrMAk&url=http%3A%2F%2Fe-journal.stkipsiliwangi.ac.id%2Findex.php%2Finfinity%2 Farticle%2Fview%2F33%2F32&usg=AFQjCNFt63xxxHQf2iLf5eekXT86kj2kLw&bvm=bv.121421273,d.c2E
Kurnia, A. (2013). Profil motivasi belajar siswa. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Majid, A. (2015). Strategi pembelajaran. Cetakan Keempat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Melinda, D., Yusuf, H.F. & Iriani, F. (2015). Kemandirian belajar (self regulated learning) beserta angket dan kisi-kisinya. [Online]. Diakses dari: http://faridairiani.blogspot.co.id/2015/11/kemandirian-belajar-self-regulated.html
Mulyana, A. (2016). Motivasi belajar siswa, pengertian, bentuk dan faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. [Online]. Diakses dari: http://ainamulyana.blogspot.co.id/2012/02/motivasi-belajar.html
Mulyana, E. (tanpa tahun). Pengaruh model pembelajaran matematika Knisley terhadap peningkatan pemahaman dan disposisi matematika siswa sekolah menengah atas program ilmu pengetahuan alam. [Online]. Diakses dari: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._ MATEMATIKA/195401211979031-ENDANG_MULYANA/ MAKALAH/Artikel_Jurnal_PASCA_UPI.pdf.
Prayitno & Amti, E. (2004). Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Samani, M. &  Hariyanto. (2012). Konsep dan model pendidikan karakter. Cetakan Kedua. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Siregar, E. & Nara, H. (2010). Teori belajar dan pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Sudrajat, A. (Tanpa tahun). Mengapa pendidikan karakter?. [Online]. Diakses dari: http://staff.uny.ac.id/sites/default/.../Mengapa%20Pendidikan%20Karakter.pdf.
Sobandi, dkk. (2014). Makalah pendidikan karakter. Sumedang: Tidak Dipublikasikan.
Syaban, M. (2009). Menumbuhkembangkan daya dan disposisi matematis siswa sekolah menengah atas melalui pembelajaran investigasi. [Online]. Diakses dari: http://file.upi.edu/Direktori/JURNAL/EDUCATIONIST/ Vol._III_No._2-Juli_2009/08_Mumun_Syaban.pdf
Tandililing, E. (2011). Peningkatan komunikasi matematis serta kemandirian belajar siswa SMA melalui strategi PQ4R disertai bacaan refutation text. [Online]. Diakses dari: http://download.portalgaruda.org/article.php? article=111703&val=2343
Teguh, W. (2012). Kemandirian belajar. [Online]. Diakses dari: http:// eprints.uny.ac.id/9567/2/bab%202%20%20NIM%2008108247088.pdf
Trisniawati. (2013). Disposisi matematis. [Online]. Diakses dari: http://trisniawati87.blogspot.co.id/2013/05/disposisi-matematis_12.html
Wahyono, B. (2014). Indikator motivasi belajar. [Online]. Diakses dari: http://www.pendidikanekonomi.com/2014/10/indikator-motivasi-belajar. html
Yusmarini. (2009). Kemandirian belajar: apa, mengapa dan bagaimana dikembangkan pada peserta diklat matematika. [Online]. Diakses dari: http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=573:yusmarni11&catid=41:top-headlines
Yusuf, M. (2015). Kemampuan disposisi matematis. [Online]. Diakses dari: http://musdalifahyusuftweexter.blogspot.co.id/2015/09/kemampuan-disposisi-matematis.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GOALS KOGNITIF (PEMAHAMAN, PENALARAN, KOMUNIKASI, KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS)

GOALS KOGNITIF (PEMAHAMAN, PENALARAN, KOMUNIKASI, KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS) MAKALAH Diajukan untuk m emenuhi s ...