KONSTRUKTIVISME
VS MEKANISTIS DAN PENDEKATAN INDUKTIF, DEDUKTIF, LANGSUNG, TIDAK LANGSUNG
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi
salah
satu
tugas
matakuliah Model Pembelajaran Matematika pada semester genap
tahun akademik 2015/2016
dengan dosen pembimbing Maulana,
M.Pd.
Disusun
oleh :
Kelompok 1
Semester 6 Kelas 3D
1.
Trisna
Nugraha (No. Absen/NIM : 47 / 1307502)
2.
Annisa
Listiorini (No. Absen/NIM : 13 / 1306136)
3.
Tera
Lawina Darajat (No. Absen/NIM : 31 / 1306522)
4.
Maharani
Larasati P. (No. Absen/NIM : 46 / 1307346)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS SUMEDANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Konstruktivisme
vs Mekanistis, dan Pendekatan Induktif, Deduktif, Langsung, Tak Langsung” tepat pada waktunya. Rasa hormat dan ucapan
terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Maulana, M.Pd., selaku dosen pengampu
matakuliah Model Pembelajaran Matematika atas ilmu, bimbingan,
motivasi, dan saran yang diberikan selama perkuliahan. Makalah ini akan
membahas mengenai paradigma atau
teori pembelajaran konstruktivisme versus mekanistis, dan beberapa pendekatan (tools) dalam pembelajaran matematika
diantaranya pendekatan induktif, pendekatan deduktif, pendekatan langsung, dan
pendekatan tidak langsung.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan do’a serta dukungan baik secara
moril maupun materiil, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.
Bapak Maulana, M.Pd. selaku dosen pengampu matakuliah Model Pembelajaran
Matematika.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi materi, tata bahasa, penulisan kalimat, maupun kajian teori. Oleh karena itu kami menerima kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca agar kami dapat memperbaikinya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami khususnya dan bagi para pembaca
umumnya.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Sumedang, 17
Februari 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah...................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................
2
1.3 Tujuan
Pembahasan..........................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan
Konstruktivisme dan Mekanistis....................................
3
2.2 Pendekatan
Induktif dalam Pembelajaran Matematika...................
9
2.3 Pendekatan
Deduktif dalam Pembelajaran Matematika.................. 13
2.4 Pendekatan
Langsung dalam Pembelajaran Matematika................. 16
2.5 Pendekatan
Tidak Langsung dalam Pembelajaran Matematika....... 21
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan........................................................................................... 24
3.2 Saran................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Pembelajaran matematika merupakan suatu interaksi
antara pendidik dengan peserta didik yang dilakukan secara sadar dan dilakukan
dengan tujuan siswa memahami konteks matematika yang diajarkan. Pembelajaran
matematika ditujukan untuk tercapainya standar kompetensi/kompetensi inti dan
kompetensi dasar pembelajaran dimana pembelajaran harus dilakukan secara
berkesinambungan. Guru juga harus memperhatikan kegiatan pembelajaran yang
dilakukan dari kegiatan awal sampai akhir pembelajaran. Melakukan evaluasi yang
relevan dan disesuaikan dengan proses dalam pembelajaran.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan pembelajaran
matematika tidak terlepas dari paradigma atau teori pembelajaran yang
melatarbelakangi proses kegiatan pembelajaran. Ada beberapa paradigma atau
teori pembelajaran, salah satunya yaitu pembelajaran konstruktivisme dan
mekanistis. Dimana paradigma atau teori tersebut dapat mempengaruhi cara yang
dilakukan guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sehingga pendidik harus benar-benar dapat membedakan
kedua paradigma/teori pembelajaran tersebut.
Guru sebagai
pemegang peranan utama dalam pembelajaran matematika tidak hanya memiliki
pengetahuan akan materi matematika yang diajarkan. Akan tetapi guru juga harus memiliki
pengetahuan konseptual dan prosedural yang akan mengantarkan siswa ke topik
pembelajaran, memiliki kecakapan untuk menangani miskonsepsi yang mungkin
terjadi dalam pengajaran matematika dan memahami tahapan bahwa mereka masih
memiliki sedikit pemahaman tentang suatu materi menuju penguasaan materi
tertentu. Oleh karena itu guru diharapkan mampu mengetahui dan
mengimplementasikan beberapa pendekatan pembelajaran yang biasa diterapkan
dalam pembelajaran matematika diantaranya yaitu pendekatan induktif, deduktif,
serta pendekatan langsung dan tak langsung yang dapat membantu guru dalam
menciptakan pembelajaran yang optimal.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pemaparan latar belakang di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan
masalah yaitu sebagai berikut ini.
1.2.1
Bagaimana perbedaan konstruktivisme dan mekanistis?
1.2.2
Bagaimana konsep dan implementasi dari pendekatan induktif
dalam pembelajaran matematika?
1.2.3
Bagaimana konsep dan implementasi dari pendekatan deduktif
dalam pembelajaran matematika?
1.2.4
Bagaimana konsep dan implementasi dari pendekatan
pembelajaran langsung dalam pembelajaran matematika?
1.2.5
Bagaimana konsep dan implementasi dari pendekatan
pembelajaran tidak langsung dalam pembelajaran matematika?
1.3
Tujuan
Pembahasan
Adapun
beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam penulisan makalah ini di
antaranya sebagai berikut.
1.3.1
Untuk mengetahui serta memahami perbedaan pembelajaran konstruktivisme
dengan pembelajaran mekanistis dalam matematika.
1.3.2
Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai pendekatan
induktif dalam pembelajaran matematika.
1.3.3
Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai
pendekatan deduktif dalam pembelajaran matematika.
1.3.4
Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai pendekatan
langsung dalam pembelajaran matematika.
1.3.5
Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai
pendekatan tidak langsung dalam pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perbedaan
Pembelajaran Konstruktivisme dan Mekanistis
2.1.1
Konsep dan Implementasi
Konstruktivisme dalam Matematika
Pembelajaran
matematika telah mengalami perkembangan atau pergeseran paradigma yang bisa saja
dipengaruhi oleh teori atau prinsip pembelajaran yang ada. Pembelajaran sendiri
menurut Grafura dan Wijayanti (2012, hlm 9) mengalami pergeseran dari paradigma
behaviorisme menuju kognitivisme, dan sekarang berada di konstruktivisme. Konstruktivisme
merupakan perpaduan dari kognitif dan behavior yang memandang bahwa
pembelajaran ditujukan kepada pembentukan dan pemahaman pengetahuan yang
mengedepankan hasil, konstruksi dan interaksi dari proses pembelajaran.
Menurut
Hernawan, dkk. (2010, hlm. 55) konstruktivisme merupakan landasan berpikir
(filosofi) pendekatan konstektual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan
tidak dibangun dengan tiba-tiba. Oleh karena itu peserta didik perlu dibiasakan
untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan
bergulat dengan ide-ide sehingga dapat mengontruksikan pengetahuannya. Esensi
pembelajaran konstruktivisme yaitu siswa harus mampu menemukan dan
mentransformasi suatu informasi kedalam situasi yang lain, dengan demikian
perlu ada aktivitas yang dilakukan siswa agar informasi yang diterima dapat
dibangun sendiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Konstruktivisme
memandang bahwa pembelajaran matematika diarahkan kepada peserta didik untuk
membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Dengan kata lain bahwa
pembelajaran matematika dajarkan dengan proses pembelajaran yang berpusat
kepada siswa yang mendasari pembelajaran bertajuk situated-learning yaitu suatu proses pembelajaran yang diarahkan
kepada kebermaknaan pada dunia nyata. Paradigma belajar konstruktivisme selaras
dengan teori Realistic Mathemathics
Education (RME) yang dikembangkan oleh Freudential. Masthoni (2011)
menegaskan teori RME yang mengatakan bahwa pengetahuan matematika dikreasi
bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi. Guru tidak sebagai sumber atau
pusat pembelajaran namun berperan sebagai fasilitator pembelajaran. Guru
menciptakan kondisi pembelajaran dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan
materi yang sesuai, representatif, serta realistik bagi siswa sehingga
memperoleh pengalaman belajar yang optimal.
Konstruktivisme
sendiri menurut Budiningsih (2012, hlm 64) merupakan proses belajar sebagai
suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses
asimilasi dan akomodasi, yang membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang
menuju pada kemutakhiran struktur kognitif. Oleh karena itu pembelajaran
diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut
secara optimal pada diri siswa. Adapun ciri belajar berbasis konstruktisme yang
dikemukakan oleh Driver dan Oldham (dalam Siregar & Nara, 2010, hlm. 39)
sebagai berikut ini.
1) Orientasi
yaitu siswa diberi kesempatan mengembangkan motivasi.
2) Elisitasi
yaitu siswa mengungkapkan ide dengan jalan diskusi.
3) Restrukturisasi
ide yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain.
4) Penggunaan
berbagai ide baru dalam berbagai situasi/aplikasi ide.
5) Review
yaitu mengaplikasikan pengetahuan dan revisi apabila diperlukan.
Dengan demikian tugas guru dalam
pembelajaran konstruktivisme yaitu memfasilitasi siswa belajar lebih aktif dan
menjadikan proses pembelajaran lebih bermakna. Implikasi konstruktivisme dalam
pembelajaran yaitu siswa diharapkan dapat mengamati dan menemukan sendiri
informasi yang diperolehnya dari hasil pengamatan, pengalaman dan hasil
merasakan. Konstruktivisme memiliki beberapa prinsip dasar yaitu pengetahuan
dibangun oleh siswa secara aktif, tekanan proses pembelajaran terletak pada
siswa, kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan membantu siswa belajar,
penekanan kepada proses bukan hasil akhir, kurikulum menekankan pasrtisipasi
siswa, dan guru adalah fasilitator.
Dalam implementasi terhadap pembelajaran
matematika, ada beberapa prinsip konstruktivisme Piaget seperti yang
dikemukakan oleh De Vries dan Kohlberg (dalam Suwangsih & Tiurlina, 2006,
hlm.114) diantaranya yaitu sebagai berikut ini.
1) Struktur
psikologi harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum persoalan bilangan
dikembangkan.
2) Struktur
psikologi (skemata) harus dikembangkan lebih dulu sebelum simbol formal
diajarkan.
3) Siswa
harus mendapatkan kesempatan untuk menemukan atau membentuk relasi matematis
sendiri.
4) Suasana
berpikir harus diciptakan.
Implementasi pembelajaran
konstruktivisme dalam pembelajaran matematika meliputi empat tahap yaitu
apersepsi, eksplorasi, diskusi dan penjelasan konsep, dan pengembangan serta
aplikasi. Tahap apersepsi mendorong siswa untuk mengemukakan pengetahuan awal
tentang konsep yang akan dibahas. Tahap eksplorasi memberikan kesempatan pada
siswa untuk menyelidiki dan menemukan konsep, pengumpulan, pengorganisasian dan
penginterpretasian data. Tahap diskusi dan penjelasan konsep memberikan solusi
berdasar observasi dan ditambah dengan penguatan guru. Tahap pengembangan dan
aplikasi yaitu kegiatan pengaplikasian pemahaman konseptual siswa.
2.1.2
Konsep dan Implementasi
Mekanistis dalam Matematika
Matematising
merupakan kegiatan mengorganisasi dan menstruktur yang memperoleh pengetahuan
dan kemampuan untuk menemukan apa yang masih belum diketahui secara beraturan,
hubungan dan struktur. Matematisasi dibedakan menjadi dua dalam pemecahan
masalah matematika yakni matematisasi horizontal dimana arah jalan matematika
dibuka melalui bentuk model, bentuk bagan dan simbol, selain itu matematisasi
vertikal yang terkait dengan proses secara matematis dan meningkatkan level
untuk menstruktur masalah dalam pembahasannya. Dalam matematisasi horizontal siswa
datang dengan alat-alat matematika yang dapat menolong mereka untuk
mengorganisasi dan memecahkan masalah ke dalam situasi kehidupan nyata.
Sedangkan dalam matematisasi vertikal terjadi proses mengorganisasi kembali ke
dalam sistem matematika itu sendiri, misalnya menemukan cara singkat dan
menemukan hubungan antara konsep dan strategi dan mengaplikasikan penemuan
tersebut.
Secara
singkat, matematisasi horizontal melibatkan masalah dunia nyata ke bentuk dunia
simbol-simbol, sedangkan matematisasi vertikal berarti bergerak di dalam dunia
symbol. Jika ditinjau dari penggunaan proses matematisasi Treffers (dalam
Darhim, tanpa tahun, hlm. 7) membedakan empat pendekatan pembelajaran
matematika yaitu pendekatan mekanistik, struktulalistik, empiristik, dan
pendekatan realistic. Pendekatan mekanistik dicirikan sebagai kelemahan dari
kedua komponen matematising horizontal dan vertikal. Artinya bahwa tidak ada
kejadian nyata sebagai sumber, sedikit memberikan perhatian pada aplikasi,
lebih menekankan pada pengaburan atau penyamaran ingatan dan mengotomatiskan
pada fakta dan aksi bilangan, tidak menggunakan secara mendalam pada operasi
dari sistem formal. Bentuk lunak dari pendekatan mekanistik didasarkan pada
teori belajar Gagne, tapi bentuk kasarnya cenderung pada prinsip behavioristik.
Jika
berlandaskan filosofi bahwa mekanistik manusia layaknya komputer, seperti
instrumen yang dapat diprogram dengan latihan untuk melakukan sesuatu, pada
tingkat terendah misalnya aritmetika dan aljabar bahkan geometris dan untuk
memecahkan masalah terapan, dimana dibedakan pola yang dikenali dan diproses
secara berulang. Jika bentuk kasar dari mekanistik yaitu prinsip behavioristik
maka pembelajarannya dengan model hubungan antara stimulus dan respon, sehingga
mendudukan orang belajar sebagai individu yang pasif. Hal tersebut dikarenakan
siswa perlu didorong melalui berbagai motivasi dan penguatan harus terus
diberikan serta mengurangi hukuman. Menurut teori belajar Gagne kapabilitas
merupakan kemampuan yang dimiliki manusia karena ia belajar.
Dalam
praktik instruksional pendekatan mekanistik menggunakan cara menentukan
instuksi secara individu, yang dilatih pada perhitungan formal tersendiri. Hal
tersebut selaras dengan pendapat Freudental yang mengemukakan bahwa pendekatan
mekanistik lebih cenderung pada pembelajaran secara sendiri (didactically) dimana sikap didaktik
tidak disesuaikan/dicocokan dengan rekan kerja matematisnya. Dengan demikian
siswa yang memiliki kemampuan rendah harus diajarkan secara khusus. Materi
pelajaran matematika pada pendekatan mekanistik diberikan secara sedikit demi
sedikit pada siswa yang menguasai tujuan instruksional pada tingkat rendah
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa. Hal tersebut biasa disebut sebagai
metode mastery learning.
Pendekatan
mekanistik secara lunak didasarkan kepada teori Gagne. Menurut Gagne (dalam
Suwangsih & Tiurlina, 2006, hlm. 79) dalam belajar matematika ada dua objek
yang dapat diperoleh siswa yaitu objek langsung dan tak langsung. Objek
langsung meliputi fakta, keterampilan, konsep dan aturan/prinsip. Sedangkan
objek tidak langsung meliputi kemampuan menyelidiki, memecahkan masalah,
belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika dan tahu bagaimana
semestinya belajar. Dalam teori belajar Gagne, belajar dikelompokan menjadi
delapan tipe belajar yaitu belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak,
rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan dan
pemecahan masalah.
Pemecahan
masalah pada tipe belajar Gagne (dalam Maulana, 2011, hlm. 66) memuat lima
langkah yang harus ditempuh sebagai berikut ini.
1) Menyajikan
masalah dalam bentuk yang lebih jelas.
2) Menyatakan
masalah dalam bentuk yang operasional.
3) Menyusun
hipotesis alternative dan prosedur kerja yang diperkirakan baik untuk
dipergunakan dalam memecahkan masalah itu.
4) Menguji
hipotesis dan melakukan kerja untuk mengetahui hasil.
5) Memeriksa
kembali hasil yang diperoleh dan mungkin memilih alternatif pemecahan masalah
yang paling baik.
2.1.3
Konstruktivisme Versus Mekanistis
(Behaviorisme)
Behaviorisme
memandang psikologi sebagai studi tentang tingkah laku dan menjelaskan belajar
sebagai suatu sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Dalam
pembelajaran behaviorisme, menurut Skinner (dalam Suparno, 1997, hlm. 58)
pelajar dipandang sebagai pasif, butuh motivasi luar dan dipengaruhi oleh reinforcement. Sehingga kurikulum
behaviorisme dirancang secara tersturktur termasuk bagaimana cara pendidik
memotivasi siswa, mengevaluasi dan lain sebagainya. Dengan demikian
behaviorisme menekankan keterampilan sebagai tujuan pengajaran.
Hal
tersebut berbeda dengan pandangan konstruktivisme. Konstruktivisme mempunyai
fokus penekanan terhadap perkembangan dan pembentukan konsep juga pemahaman
konsep secara mendalam. Pembentukan dan pemahaman konsep tersebut dibangun
berdasarkan konstruksi aktif dari peserta didik. Suparno (1997, hlm. 59)
mengemukakan bahwa dalam pembelajaran konstruktivisme bila seseorang tidak
mengonstruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif meskipun ia berumur tua,
akan tetap tidak berkembang pengetahuannya. Dengan demikian konstruktivisme
menyoroti kepada hal kemandirian pembelajar dalam membentuk pengetahuan secara
aktif. Adapun perbedaan secara lebih jelas yang dikemukakan oleh Siregar dan
Nara (2010) bahwa perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional
(mekanistis/behaviorisme) dengan pembelajaran konstruktivistik yaitu sebagai
berikut ini.
Tabel
2.1. Perbedaan Pembelajaran Tradisional dan Konstruktivistik
Pembelajaran
Tradisional
|
Pembelajaran
Konstruktivistik
|
Kurikulum disajikan
dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan
dasar.
|
Kurikulum disajikan
mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian dan lebih mendekatkan pada
konsep-konsep yang lebih luas.
|
Pembelajaran sangat
taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
|
Pembelajaran lebih
menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
|
Kegiatan kurikuler
lebih banyak mengenalkan pada buku teks dan buku kerja.
|
Kegiatan kurikuler
mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
|
Siswa dipandang
sebagai kertas kosong yang dapat digoresi informasi dengan cara didaktik.
|
Siswa dipandang
sebagai pemikir yang dapat memunculkan teoti tentang dirinya.
|
Penilaian hasil
belajar dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan dilakukan dengan cara
testing.
|
Pengukuran proses dan
hasil belajar siswa terjalin dalam kesatuan kegiatan pembelajaran melalui
tugas pekerjaan.
|
Siswa biasanya
bekerja sendiri tanpa ada grup proses.
|
Siswa banyak belajar dan
bekerja di dalam grup proses.
|
2.2
Pendekatan
Induktif dalam Pembelajaran Matematika
Maulana (2011, hlm. 85) mengungkapkan bahwa
pendekatan pembelajaran adalah cara yang ditempuh oleh guru dalam pelaksanaan
pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa. Dari hal
tersebut terdapat dua jenis pendekatan pembelajaran matematika yakni pendekatan
yang bersifat metodologi dan pendekatan pembelajaran yang bersifat material.
Pendekatan metodologi sendiri merupakan pendekatan pembelajaran yang berkenaan
dengan bagaimana cara peserta didik untuk menerima konsep yang telah diajarkan
dan bagaimana cara guru menyajikan konsep tersebut. Salah satu contoh dari
pendekatan metodologi yaitu pendekatan induktif.
Pendekatan induktif merupakan suatu pendekatan
pembelajaran metodologi dengan menggunakan penalaran induktif yakni penalaran
yang dimulai dari konsep yang bersifat khusus menuju ke konsep yang bersifat
umum. Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh seorang filosof Inggris
yakni Prancis Bacon pada tahun 1561. Prancis Bacon (dalam Sagala, 2006, hlm.
77) menyatakan bahwa pendekatan induktif merupakan pendekatan yang menghendaki
penarikan kesimpulan didasarkan fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin. Sistem
ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan
yaitu cara induktif atau biasa disebut sebagai dogmatif artinya bersifat
mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif
sendiri didefinisikan sebagai suatu proses berpikir yang berlangsung dari hal
yang bersifat khusus menuju hal yang bersifat umum.
Pembelajaran induktif juga merupakan salah satu
pendekatan dan strategi pembelajaran yang digolongkan berdasarkan proses
berpikir dalam mengolah pesan atau materi pembelajaran. Strategi berdasarkan
proses berpikir dalam mengolah pesan atau materi pembelajaran menurut Rusman dan
Dewi (2013, hlm. 198) digolongkan kedalam tiga bagian yakni pembelajaran
deduktif, pembelajaran induktif dan pembelajaran deduktif-induktif. Dengan
demikian pendekatan induktif sangat bergantung kepada strategi pembelajaran
induktif pula. Hal tersebut selaras dengan Hernawan, dkk. (2010, hlm. 71) yang
menyatakan strategi pembelajaran menentukan pendekatan bagi guru dalam
meningkatkan pencapaian tujuan pembelajaran.
Suwangsih dan Tiurlina (2010, hlm. 108)
menngemukakan pendekatan induktif menggunakan penalaran induktif, hingga cara
empiris bisa diterapkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan
induktif merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan penalaran
induktif dan menekankan kemampuan berpikir induktif. Menurut Adjie dan Rostika
(2009, hlm. 45) penalaran induktif adalah kemampuan seseorang dalam menarik
kesimpulan yang bersifat umum melalui pernyataan yang bersifat khusus. Penalaran
yang menggunakan pendekatan induktif pada prinsipnya yaitu menyelesaikan suatu
masalah matematika dengan tidak menggunakan rumus atau dalil namun dimulai dari
memperhatikan sampel atau soal. Sehingga dari soal tersebut diproses yang
hasilnya berbentuk kerangka atau pola dasar tertentu yang dicari sendiri dan
berakhir pada penarikan suatu kesimpulan. Kesimpulannya bahwa penalaran
induktif memiliki pola yang dilalui secara hierarkis yakni data atau fakta,
konsep atau proses, dan generalisasi.
Penalaran induktif yang dilakukan melalui pengalaman
dan pengamatan mempunyai kelemahan tidak dapat menjamin kesimpulan yang berlaku
secara umum. Kebenaran dari suatu kesimpulan yang diambil secara induktif
menurut Purwanto (dalam Sagala, 2006, hlm. 77) bergantung pada representatif
atau tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Dengan
demikian besar sedikitnya sampel dapat mempengaruhi validitas dari penarikan
kesimpulan. Selain itu taraf validitas juga dapat dipengaruhi oleh tingkat
objektivitas peneliti dan homogenitas hal yang diteliti. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran induktif merupakan pendekatan pembelajaran
diawali dengan penyajian sejumlah keadaan yang bersifat khusus kemudian
disimpulkan menjadi suatu hal yang bersifat umum seperti fakta, prinsip serta
aturan. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam pembelajaran induktif
diantaranya sebagai berikut ini.
2.2.1
Pembelajaran diawali
dengan pemilihan konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan melalui pendekatan
induktif.
2.2.2
Memancing siswa untuk
memperkirakan sifat umum yang terkandung dalam konsep, prinsip atau aturan yang
khusus yang disajikan kepada siswa.
2.2.3
Penyajian bukti
tambahan yang dapat memperkuat atau menyangkal perkiraan yang telah siswa buat.
2.2.4
Menyusun kesimpulan
berupa pernyataan yang bersifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah
sebelumnya.
Meskipun matematika merupakan salah satu ilmu yang
berasal pada pola penalaran deduktif. Namun pola pendekatan deduktif menurut
Prihandoko (2006, hlm. 57) kurang sesuai diimplementasikan terhadap siswa SD,
khususnya kelas rendah. Hal tersebut dikarenakan bahwa perkembangan mental
siswa menurut teori Piaget masih berada pada tahap operasional konkret,
sehingga anak perlu didorong untuk mengembangkan konsep dengan manipulasi benda
konkrit untuk menyelidiki model abstrak. Dengan demikian pendekatan pembelajaran
induktif sangatlah sesuai dengan perkembangan siswa. Namun guru harus sadar
bahwa pendekatan induktif tersebut hanya digunakan sebagai pendekatan
pembelajaran matematika pada siswa SD bukan sebagai alat generalisasi dalam
matematika. Pendekatan pembelajaran induktif merupakan suatu jembatan terhadap
anak menuju tahap operasional formal yang nantinya anak akan berpikir secara
abstrak dan tidak bergantung kepada penalaran yang bersifat induktif.
Salah satu tujuan pendekatan induktif dalam
pembelajaran matematika yaitu membantu siswa SD untuk meningkatkan kemampuan
berhitungnya. Dalam implementasinya misalnya peserta didik diberikan suatu
deret aritmatika seperti 1, 4, 7, 10, 13, ….. dan deret 10, 8, 6, 4, …. serta
deret bilangan 1, 2, 4, 7, 11, 16, ….. dari pola tersebut peserta didik akan
melihat pola bilangan yang diketahui dalam deret yang diberikan sehingga dengan
bekal keterampilannya dalam operasi penjumlahan dan pengurangan peserta didik
akan dapat menarik kesimpulan dari pola yang ada dan juga menentukan bilangan
yang rumpang. Selain itu masih banyak lagi aplikasi soal dari pendekatan
induktif dalam pembelajaran matematika dengan tujuan yang bervariasi misalnya
pada materi sifat operasi hitung dan lain sebagainya. Pendekatan induktif dapat
membantu pembelajaran matematika contohnya dalam banyak himpunan bagian suatu
himpunan, bekerja dengan pola, pola bilangan dan pola geometri.
Pendekatan induktif bisa diajarkan dengan
menggunakan metode induktif pula. Menurut Aqib (2015, hlm. 117) metode induktif
dimulai dengan pemberian berbagai kasus, fakta, contoh atau sebab yang
mencerminkan suatu konsep atau prinsip. Untuk kemudian peserta didik dibimbing
untuk berusaha keras mensintesiskan, merumuskan atau menyimpulkan prinsip dasar
dari pembelajaran tersebut. Namun pada implementasinya, tidak selamanya
pendekatan pembelajaran induktif dalam pembelajaran matematika menggunakan
metode induktif saja.
2.3
Pendekatan
Deduktif dalam Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan suatu ilmu yang pola
penalarannya deduktif. Hal tersebut dikarenakan bahwa suatu penurunan teorema
matematika tidak didasarkan kepada suatu proses generalisasi dengan observasi
yang terbatas namun hal tersebut didasarkan kepada definisi, aksioma, dan
teorema yang sudah ada sebelumnya. Yang kemudian teorema tersebut
diimplementasikan pada semua elemen himpunan semesta. Suwangsih dan Tiurlina
(2010, hlm. 108) mendefinisikan pendekatan deduktif merupakan cara penarikan
kesimpulan dari hal yang umum menjadi kasus yang khusus. Penarikan kesimpulan
secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir deduktif atau lebih dikenal
dengan pola berpikir silogisme. Silogisme sendiri sering dikenal dalam logika
matematika jika ada dua premis benar dan ditarik kesimpulannya atau disebut
konklusi.
Menurut Sagala (2006, hlm. 76) pendekatan deduktif
adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus
sebagai pendekatan pengajaran yang bermula degan menyajikan aturan, prinsip
umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum
itu kedalam keadaan khusus. Dengan demikian pendekatan deduktif bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berpikir deduktif siswa. Adapun pengertian dari berpikir
deduktif yaitu suatu proses berpikir yang berlangsung dari hal yang bersifat
umum ke hal yang bersifat khusus. Sehingga siswa bertumpu dari suatu teori,
prinsip ataupun kesimpulan yang dianggap benar dan bersifat umum yang untuk
selanjutya diterapkan kepada hal yang khusus kemudian diambil kesimpulan khusus
yang berlaku terhadap suatu hal tersebut.
Menurut Adjie dan Rostika (2009, hlm. 56) penalaran
deduktif yaitu penalaran yang berlangsung dari hal yang bersifat umum (generalisasi)
ke hal yang khusus. Sehingga pembuktian dalam penalaran deduktif mempunyai pola
yakni simplan didasarkan atas pernyataan generalisasi yang berlaku secara umum
dan pernyataan khusus. Penalaran deduktif tidak menerima generalisasi yang
diperoleh berdasarkan hasil observasi layaknya penalaran induktif. Oleh karena
itu kebenaran suatu pernyataan didasarkan kepada kebenaran
pernyataan-pernyataan lain. Untuk membuktikan kebenaran yang paling awal maka
dapat diatasi dengan memasukan beberapa unsur pernyataan awal/pangkal sebagai
kesepakatan yang diterima kebenarannya tanpa pembuktian dan yang telah
disepakati maknanya yang kemudian disebut sebagai aksioma dan postulat dalam
matematika. Adapun langkah pendekatan pembelajaran deduktif seperti berikut.
2.3.1
Pembelajaran diawali
dengan pemilihan konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan melalui pendekatan
deduktif.
2.3.2
Penyajian aturan,
prinsip atau aturan yang bersifat umum lengkap dengan definisinya yang disertai
dengan bukti.
2.3.3
Menyajikan contoh
khusus yang ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada siswa supaya dapat
menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan konsep, prinsip atau aturan
yang bersifat umum.
2.3.4
Menyajikan bukti yang
dapat menyangkal atau memperkuat kesimpulan yang menunjukkan bahwa keadaan
khusus tersebut merupakan suatu gambaran dari hal yang bersifat umum.
Pendekatan pembelajaran deduktif dapat diterapkan
ketika anak berada pada tahap operasional formal yang sudah dapat berpikir
secara abstrak dan tidak bergantung kepada hal yang bersifat konkret. Dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran yang mengenalkan siswa pada proses
pembuktian maupun penurunan suatu konsep atau teorema dalam pembelajaran
matematika maka akan merubah pola berpikir anak dari induktif ke deduktif. Siswa
SD kelas tinggi pun yang biasanya berada pada kelas 5 atau 6 menurut Prihandoko
(2006, hlm. 58) pendekatan pembelajaran deduktif semacam itu sudah dapat
diterapkan, karena pada usia itu siswa sudah memasuki masa transisi dari tahap
operasional konkret menuju tahap operasional formal.
Pendekatan pembelajaran deduktif dengan menggunakan
soal cerita merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa. Karena dengan memecahkan soal yang ada siswa harus mampu bernalar
secara deduktif dimulai dari mentransfer soal cerita ke dalam model matematika
kemudian dengan bekal konsep matematika yang telah dimiliki maka siswa dituntut
untuk menyelesaikan masalah yang ada. Adapun contoh dari soal cerita yang
menggunakan pendekatan deduktif misalnya Dedi mempunyai uang Rp. 20.000,-
kemudian seperempat uangnya dibelikan kelereng yang harga 1 butir kelerengnya
yaitu Rp. 500,-, dan kelereng tersebut dibagikan sama rata kepada dua orang
adiknya, berapa banyak kelereng yang diterima oleh masing-masing adik Dedi?. Kunci
dari pendekatan deduktif yang menggunakan penalaran deduktif yaitu membutuhkan
pengetahuan yang dapat mengantarkan pada penyelesaian permasalahan yang
dihadapi meliputi ingatan, pemahaman dan penerapan sifat, teorema, aksioma,
rumus, dalil, definisi atau hukum.
Pendekatan deduktif dalam pembelajaran matematika
dapat dilakukan dengan mengajarkan konsep dengan pendekatan deduktif dimulai
dari mengemukakan definisinya kemudian disusul dengan contoh yang diberikan
oleh guru atau dicari oleh murid. Sehingga pendekatan deduktif merupakan
kebalikan dari pendekatan induktif. Penggunaan teorema atau rumus dalam menyelesaikan
soal merupakan salah satu ciri khas dari pendekatan deduktif. Cara membuktikan
teorema dan menentukan jawaban soal dengan menggunakan pendekatan deduktif pola
berpikirnya sama yakni menentukan aturan untuk memberlakukan keadaan khusus
yang kemudian mendapat kesimpulan atau hasil. Sebenarnya banyak sekali materi
yang dapat diajarkan dengan menggunakan pendekatan deduktif yang dapat
mengajarkan siswa bernalar secara benar baik materi matematika sekolah dasar
pada kelas rendah maupun pada kelas tinggi.
Seperti pendekatan lainnya bahwa pendekatan
pembelajaran deduktif tentu tidak terlepas dari metode pembelajaran. Adapun
metode yang dapat digunakan pada pembelajaran deduktif diantaranya yaitu metode
pembelajaran deduktif. Menurut Aqib (2015, hlm. 116) metode deduktif merupakan
pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan
dalam bentuk penerapannya atau contoh-contohnya dalam situasi tertentu.
Sehingga metode pembelajaran deduktif menjelaskan hal yang bersifat umum kepada
hal yang bersifat khusus dan dari suatu teoritas kepada realitas. Tetapi dalam
implementasinya pendekatan deduktif bisa dilakukan dengan beberapa metode
lainnya dan bervariasi.
2.4
Pendekatan
Langsung dalam Pembelajaran Matematika
Pembelajaran langsung menurut Engelman dan Carnine
(dalam Runtukahu & Kandou, 2014, hlm. 232) merupakan pendekatan belajar
modifikasi perilaku dan kognitif. Tujuan utama pendekatan pembelajaran langsung
yaitu meyediakan urutan atau sekuens belajar yang efektif yang diharapkan akan membantu
anak membuat generalisasi terhadap semua aplikasi kemungkinan belajar. Pendekatan pembelajaran langsung disusun untuk mengenalkan peserta didik terhadap mata pelajaran dalam membangun minat, menimbulkan rasa ingin tahu, dan
meransang mereka untuk berpikir. Peserta didik tidak dapat berbuat apa-apa jika
pikiran
mereka tidak dikembangkan oleh guru. Agar tidak terjadi
kesalahan dalam belajar guru harus mempersiapkan peserta didik baik secara
mental maupun fisik. Menurut
Silberham (dalam Amri & Ahmadi, 2010, hlm. 39) “pendekatan pembelajaran langsung
melalui berbagai pengetahuan secara aktif merupakan cara untuk mengenalkan
peserta didik kepada materi pelajaran yang akan diajarkan”.
Guru juga dapat menggunakan pembelajaran langsung untuk
menilai tingkat pengetahuan peserta didik sambil melakukan kegiatan pembentukan
tim. Cara ini sangat cocok pada segala ukuran kelas mulai
dari kelas rendah hingga kelas tinggi, dan dengan materi pelajaran apapun yang
ada di sekolah dasar. Sedangkan pendapat Arends (dalam
Amri & Ahmadi, 2011, hlm. 42) pembelajaran langsung memiliki beberapa
manfaat dalam pembelajaran.
Pembelajaran
langsung dirancang untuk meningkatkan proses pembelajaran para peserta didik
terutama dalam hal memahami sesuatu (pengetahuan) dan menjelaskannya secara
utuh sesuai pengetahuan prosedural dan penegtahuan deklaratif yang diajarkan
secara bertahap.
Pengetahuan deklaratif
merupakan pengetahuan tentang sesuatu dan pengetahuan prosedural yaitu
pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Pembelajaran langsung yang
terdapat pengetahuan dekalaratif dan pengetahuan prosedural bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan dasar dan keterampilan akademik peserta didik.
Menurut Rosenshine & Stevens (Nur, 2011, hlm. 19)
“Pendekatan pembelajaran langsung didukung oleh tiga teori yaitu teori belajar
perilaku, teori pembelajaran sosial, dan penelitian efektivitas guru”. Teori tersebut menjadi alasan rasional digunakannya
pendekatan pembelajaran langsung pada proses belajar mengajar dikelas.
Pendekatan pembelajaran
langsung dalam pelaksanaan lebih berorientasi pada guru. Sistem pengelolaan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru harus melibatkan peserta didik, terutama melalui
memperhatikan, mendengarkan, dan tanya jawab yang terencana. Pembelajaran ini
bukan berarti bersifat memaksa, dingin dan tanpa humor, melainkan ini berarti bahwa
lingkungan berorientasi pada tugas dan memberi harapan tinggi agar peserta
didik mencapai hasil belajar dengan baik. Pendekatan pembelajaran langsung
memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang sangat teliti dari guru.
Agar
pendekatan pembelajaran langsung berjalan dengan efektif dan lancar, seorang
guru harus memperhatikan karakteristik dan tahapan pendekatan pembelajaran
langsung. Menurut Amri dan
Ahmadi (2010, hlm. 43) pendekatan
pembelajaran langsung memiliki karakteristik diantaranya sebagai berikut ini.
2.4.1
Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk
prosedur penilaian.
2.4.2
Fase dan atau pola keseluruhan dan kegiatan pembelajaran.
2.4.3
Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar
kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil.
Adapun tahapan-tahapan
pendekatan pembelajaran langsung, menurut Amri dan Ahmadi (2010, hlm. 43) pembelajaran langsung memiliki lima
tahapan dalam pelaksanaannya yaitu, “Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan
peserta didik, mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan, menyediakan
latihan terbimbing, menganalisis pemahaman dan memberikan umpan balik, serta
memberikan kesempatan latihan mandiri”.
Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan peserta didik, sebagai guru harus mampu menyiapkan peserta didik
serta menyampaikan tujuan pembelajaran terlebih dahulu kepada siswa sebelum jam pelajaran dimulai. Penyiapan dimaksudkan untuk memusatkan
perhatian serta pikiran peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran dan lebih
jauhnya pada materi ajar. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara mengingat
kembali materi ajar sebelumnya yang memilki hubungan dengan materi yang akan
disampaikan. Cara lain yang biasa digunakan yaitu dengan mengajukan pertanyaan
mengenai pokok pembahasan
materi ajar.
Mendemonstrasikan pengetahuan
atau keterampilan dalam pembelajaran langsung, sebagian besar pengetahuan serta
keterampilan yang diperoleh peserta didik merupakan hasil pengamatan terhadap
orang lain, khususnya guru. Informasi mengenai materi ajar yang disampaikan
oleh guru merupakan dasar penting bagi peserta didik dalam memahami materi
ajar. Dalam penyampaian materi yang dilakukan oleh guru haruslah jelas dan
dimengerti oleh peserta didik. Dan penyampaian materi juga perlu disertai
dengan contoh-contoh nyata agar peserta didik mempunyai bayangan akan konsep
yang sedang dipelajari. Pengetahuan bagi peserta didik tidak hanya pengetahuan
kognitif saja, melainkan juga pengetahuan psikomotor serta nilai afektif.
Pengetahuan psikomotor berupa keterampilan tertentu yang diperoleh peserta
didik pada saat pembelajaran serta keterampilan ini mampu diaplikasikan dalam
situasi lain pada saat dibutuhkan. Peserta didik akan mampu menguasai
keterampilan ini jika gurunya sendiri menguasai serta mampu mendemonstrasikan.
Menyediakan latihan terbimbing
hal ini peserta didik harus diberi kesempatan untuk menerapkan pengetahuan yang
telah diperolehnya. Peserta didik perlu diberikan latihan yang mampu
mendorongnya dalam mengembangkan pengetahuan serta keterampilan sebagai usaha
penguasaan materi ajar. Bentuk latihan harus singkat dan jelas namun tetap
memberikan makna bagi peserta didik. Pada saat latihan berlangsung, guru harus
mampu menjadi pembimbing, mampu memotivasi peserta didik agar dapat menyelesaikan latihan dan juga mampu memberikan
penjelasan serta arahan ketika peserta didik kurang paham.
Menganalisis pemahaman dan
memberikan umpan balik hal ini merupakan salahsatu upaya guru dalam mengecek
tingkat pemahaman peserta didik mengenai materi ajar yang telah disampaikan. Guru wajib memberikan penguatan mengenai materi yang telah diberikan
ataupun penjelasan kembali khususnya kepada peserta didik yang belum paham akan
materi yang telah disampaikan oleh guru.
Memberikan
kesempatan latihan mandiri dalam pembelajaran langsung ini guru memberikan
tugas sebagai bentuk latihan mandiri bagi peserta didik. Hal ini juga mampu
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih menguasai materi ajar.
Bentuk latihan mandiri yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan
materi ajar yang diberikan baik itu kelanjutan dari materi ajar ataupun soal-soal
yang dipersiapkan sebagai materi ajar selanjutnya. Orangtua juga terlibat dalam
memberikan bimbingan tambahan.
Pembelajaran dengan menggukan
pendekatan langsung akan terlaksana secara efektif dan lancar apabila guru
mempersiapkan materi ajar serta komponen pembelajaran lainnya dengan baik dan
sistematis. Pendekatan pembelajaran langsung juga memiliki kelebihan dan
kekurangan diantaranya
yaitu relatif banyak materi yang
tersampaikan, untuk hal-hal yang sifatnya
prosedural, model ini akan relatif mudah untuk diikuti, dan akan tetapi jika terlalu dominan pada ceramah, maka
siswa akan cepat merasa bosan.
Sedangkan
jika dilihat berdasarkan pembahasan mengenai konsep dan tahapan pendekatan
pembelajaran langsung, maka dapat diidentifikasi beberapa kelebihan dan
kekurangan yang lain. Dalam kelebihan pendekatan pembelajaran langsung siswa
dapat mengetahui tujuan pembelajaran dengan jelas, memperoleh suatu
keterampilan yang didemonstrasikan oleh guru, menyediakan latihan-latihan
sebagai sarana pengembangan siswa terhadap pemahaman materi ajar, menekankan
untuk adanya umpan balik bagi peserta didik, dapat digunakan dengan efektif
untuk kelas rendah maupun kelas tinggi, dan tidak memerlukan banyak waktu.
Kekurangan
pendekatan pembelajaran langsung dalam proses pembelajaran berpusat pada guru,
kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir kritis serta
mengembangkan kreativitasnya, peserta didik cepat merasa bosan saat
pembelajaran berlangsung, dan pembelajaran kurang bermakna bagi peserta didik. Menurut Carnine dan
Stein (dalam Runtukahu & Kandou, 2014, hlm. 233) mengusulkan sistem
pendekatan pembelajaran langsung dalam pengajaran matematika. Strategi ini
dapat digunakan secara klasikal dan individual.
2.5
Pendekatan
Tidak Langsung dalam Pembelajaran Matematika
Pendekatan pembelajaran tak
langsung merupakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada peserta
didik. Dengan istilah lain pendekatan ini sering juga disebut indirect
learning approach atau student-centered approach. Pada pembelajaran ini peserta didik ditekankan
untuk aktif dan mandiri dalam proses pembelajaran berlangsung. Peserta didik
harus yang lebih aktif saat pembelajaran, sedangkan guru hanya sebagai
pembimbing dan fasilitator saja. Peran guru dalam pendekatan ini hanya
menyediakan materi ajar, sedamgkan siswa yang mengembangkan, menganalisa,
menyimpulkan, dan menemukan solusinya sendiri. Guru yang berperan sebagai
pengatur di kelas diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang
inovatif. Salahsatunya dengan menggunakan pendekatan
pembelajaran tak langsung yang memiliki ciri khas dalam pembelajarannya yaitu membuat peserta didik
menjadi aktif pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Menurut Robertson dan Lang
(Karlimah, dkk., 2010, hlm. 4) yang mengemukakan bahwa pembelajaran tak
langsung memiliki karakteristik pembelajaran yaitu menuntut keterlibatan
peserta didik secara aktif dalam melakukan observasi, investigasi, pengambilan
kesimpulan, dan pencarian alternatif solusi dan guru lebih berperan sebagai
fasilitator, pendorong, serta narasumber melalui penciptaan lingkungan belajar,
penyediaan kesempatan agar peserta didik aktif, serta penyediaan balikan. Secara menyeluruh pembelajaran dalam pendekatan ini dilakukan oleh
peserta didik. Guru hanya sebagai fasilitator pembelajaran saat di kelas. Peran
guru yang harus pandai dalam membuat
suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Menurut Basden, dkk. (Karlimah,
dkk., 2010, hlm. 4) mengemukakan bahwa, dalam pembelajaran tak langsung guru
berperan dalam memfasilitasi proses berpikir peserta didik melalui kegiatan
pengajuan pertanyaan tidak mengarah yang memungkinkan munculnya ide, menangkap
inti pembicaraan atau jawaban peserta didik yang dapat digunakan untuk menolong
mereka dalam melihat permasalahan secara lebih teliti, menarik kesimpulan dari
diskusi kelas yang mencakup berbagai pertanyaan yang berkembang, pengaitan
ide-ide yang muncul dari siswa, serta langkah-langkah pemecahan masalah yang
harus diambil, dan menggunakan waktu tunggu untuk memberi kesempatan pada siswa
berpikir serta memberi penjelasan. Menurut Lang & Evans (Karlimah, dkk.,
2011, hlm. 5), model-model pembelajaran yang masuk pada ruang lingkup ini dan
memiliki kedekatan makna dan pengertian adalah seperti: “inkuiri, induktif,
pemecahan masalah, action research, pengambilan keputusan, penemuan,
investigasi, eksplorasi, dan eksperimen”.
Jika dilihat dari karateristik model
tersebut dapat ditarik kesamaan bahwa setidaknya dalam pendekatan pembelajaran
tak langsung memiliki tahapan-tahapan seperti orientasi, eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Orientasi merupakan tahap
pendahuluan dalam pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan yang termasuk dalam
tahapan orientasi diantaranya melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan dan
menyampaikan pentingnya materi pembelajaran tersebut bagi peserta didik. Eksplorasi merupakan
kegiatan dimana guru melibatkan peserta didik dalam mencari dan
menghimpun informasi, menggunakan media untuk memperkaya pengalaman mengelola
informasi, memfasilitasi peserta didik berinterksi sehingga peserta didik
aktif, mendorong peserta didik mengamati berbagai gejala, menangkap tanda-tanda
yang membedakan dengan gejala pada peristiwa lain, mengamati objek di lapangan
dan laboratorium.
Sedangkan elaborasi yaitu
kegiatan guru
mendorong peserta didik membaca dan menuliskan hasil eksplorasi, mendiskusikan,
mendengar pendapat, untuk lebih mendalami sesuatu, menganalisis kekuatan, atau
kelemahan argumen, memahami pengetahuan tentang sesuatu, mengolah data, menguji
data, memprediksi, dan menyusun laporan, kemudian menyajikan hasil belajar. Sehingga guru hanya membimbing dan mengarahkan peserta didik. Dan konfirmasi merupakan kegiatan guru memberikan umpan balik terhadap apa yang dihasilkan oleh peserta
didik melalui pengalaman belajar. Guru mendorong peserta didik untuk
menggunakan pengetahuan lebih lanjut dari sumber yang pasti untuk lebih
menguatkan kompetensi belajar yang dikuasai lebih bermakna.
Pendekatan pembelajaran tak
langsung memiliki kelebihannya yaitu peserta
didik berperan aktif dalam proses pembelajaran sedangkan guru hanya membimbing dan mengarahkan, sesuai dengan tingkat pengetahuan kognitif peserta didik, melatih kemapuan berpikir
kritis dan mengembangkan kreativitas peserta didik, diberikan kebebasan untuk
mengeksplorasi materi ajar, dan juga diberikan kesempatan untuk membuat
kesimpulan, membangun sendiri pengetahuannya dan pembelajaran pun lebih
bermakna bagi peserta didik. Sedangkan kekurangan dalam
pendekatan pembelajaran tak langsung yaitu
waktu yang diperlukan dalam proses pembelajaran relatif cukup lama, adanya
perbedaan pendapat dari peserta didik yang sulit bagi guru untuk mengambil
suatu keputusan, dan tidak semua peserta didik aktif dalam pembelajaran.
Menurut Majid (2015, hlm.
79) pembelajaran tidak langsung
memperlihatkan bentuk keterlibatan tinggi siswa dalam melakukan observasi,
penyelidikan dan penggambaran inferensi berdasarkan data atau pembentukan
hipotesis. Guru merancang lingkungan belajar, memberikan kesempatan pada siswa
untuk terlibat secara aktif dan juga memberikan umpan balik. Pendekatan tidak
langsung memiliki ruang lingkup metode diantaranya yaitu inkuiri, induktif,
pemecahan masalah, eksperimen, penemuan dan lain sebagainya. Dengan demikian
pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang memungkinkan pembelajar
atau siswa untuk menjadi bagian dalam proses pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Konstruktivisme memandang pembelajaran matematika
diarahkan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri.
Pembelajaran matematika dajarkan dengan proses pembelajaran berpusat pada siswa
mendasari pembelajaran bertajuk situated-learning
yaitu proses pembelajaran yang diarahkan pada kebermaknaan dunia nyata.
Pendekatan mekanistik dicirikan sebagai kelemahan dari kedua komponen
matematising horizontal dan vertical yakni tidak ada kejadian nyata sebagai
sumber, sedikit memberikan perhatian pada aplikasi, menekankan pengaburan ingatan
dan mengotomatiskan fakta dan aksi bilangan, tidak menggunakan secara mendalam
pada operasi dari sistem formal. Bentuk lunak dari pendekatan mekanistik
didasarkan pada teori belajar Gagne, tapi bentuk kasarnya cenderung pada
prinsip behavioristik. Behaviorisme menekankan keterampilan sebagai tujuan
pengajaran. Sedangkan konstruktivisme menekankan terhadap perkembangan dan
pembentukan konsep juga pemahaman konsep secara mendalam.
Pendekatan induktif yaitu pendekatan pembelajaran
metodologi dengan menggunakan penalaran induktif yakni penalaran yang dimulai
dari konsep yang bersifat khusus menuju ke konsep yang bersifat umum.
Pendekatan induktif menekankan pada kemampuan berpikir induktif. Pendekatan
pembelajaran induktif merupakan suatu jembatan terhadap anak menuju tahap
operasional formal yang nantinya anak akan berpikir secara abstrak dan tidak
bergantung kepada penalaran yang bersifat induktif. Salah satu tujuan
pendekatan induktif dalam pembelajaran matematika yaitu membantu siswa SD untuk
meningkatkan kemampuan berhitungnya.
Pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang
bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang
bermula degan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh
khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus.
Pendekatan deduktif bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir deduktif
siswa. Pendekatan pembelajaran deduktif dengan menggunakan soal cerita
merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
sehingga dijadikan alat dalam mencapai HOTS (High Order Thinking Skills).
Pendekatan pembelajaran langsung dalam pelaksanaan
lebih berorientasi pada guru. Pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru
harus melibatkan siswa, terutama melalui memperhatikan, mendengarkan, dan tanya
jawab. Sedangkan pendekatan pembelajaran tak langsung merupakan pendekatan
pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Dalam pembelajaran ini siswa
ditekankan untuk aktif pada saat pembelajaran berlangsung dan guru hanya
membimbing serta mengarahkan siswa.
3.2 Saran
Pendekatan
pembelajaran sangatlah mempengaruhi pencapaian tujuan pembelajaran baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu diharapkan guru maupun calon
guru dapat memahami dan mengetahui pentingnya pemilihan pendekatan pembelajaran
yang didasarkan kepada tujuan yang hendak dicapai. Dengan memahami pendekatan
pembelajaran maka guru dapat mengimplementasikannya dalam pembelajaran sehingga
pembelajaran dapat berlangsung optimal dan tujuan pembelajaran dapat tercapai
seefisien mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Adjie,
N. & Rostika, R.D. (2009). Konsep
dasar matematika. Cetakan Kedua. Bandung: UPI Press.
Amri, S. & Ahmadi, I.K (2010).
Proses pembelajaran kreatif dan inovatif dalam kelas. Jakarta:
Prestasi Pustakaraya.
Aqib, Z. (2015). Model-model,
media, dan strategi pembelajaran konstektual (inovatif). Edisi Kelima.
Bandung: Yrama Widya.
Budiningsih, A. (2012). Belajar dan pembelajaran. Cetakan Kedua.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Darhim. (tanpa tahun). Pembelajaran matematika realistic sebagai
suatu pendekatan. [Online].
Diakses dari: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA
/JUR._PEND._MATEMATIKA/195503031980021-DARHIM/Makalah _Artikel/ JURNAL_RME.pdf
Grafura, L. & Wijayanti, A. (2012). Model & strategi pembelajaran yang unik.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hernawan, A.H., Asra. & Dewi, L.
(2010). Belajar dan pembelajaran SD.
Edisi Kedua. Bandung: UPI Press.
Karlimah, dkk. (2010).
Pengetahuan kemampuan proses matematika siswa melalui pembelajaran matematika dengan pendekatan tidak langsung di sekolah dasar. Artikel
Penelitian. Universitas Pendidikan Indonesia, I(1) hlm. 1-16.
Majid, A. (2015). Strategi pembelajaran. Cetakan keempat. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Masthoni. (2011). Paradigma belajar matematika. [Online].
Diakses dari:
https://masthoni.wordpress.com/2011/04/07/paradigma-belajar-matematika/.
Maulana. (2011). Dasar-dasar keilmuan dan pembelajaran matematika (sequel 1).
Subang: Royan Press.
Nur,
Muhamad. (2011). Model pengajaran
langsung. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika sekolah UNESA.
Prihandoko, A.C. (2006). Pemahaman dan penyajian konsep matematika
secara benar dan menarik. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Runtukahu, J.T. & Kandou, S. (2014). Pembelajaran matematika dasar bagi anak
berkesulitan belajar. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rusman.
& Dewi, L. (2013). Pendekatan, strategi, dan model pembelajaran. Dalam Tim
Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum
dan pembelajaran (hlm.189-218). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sagala, S. (2006). Konsep dan makna pembelajaran. Cetakan Keempat. Bandung: CV.
Alfabeta.
Siregar, E. & Nara, H. (2010). Teori belajar dan pembelajaran. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suwangsih, E. & Tiurlina. (2010). Model pembelajaran matematika. Edisi
Kesatu. Bandung: UPI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar