Translate

Sabtu, 10 Februari 2018

KEYAKINAN DIRI (BELIEFS), KEPERCAYAAN DIRI (SELF EFFICACY) DAN KETERAMPILAN HALUS (SOFT SKILL)


 KEYAKINAN DIRI (BELIEFS), KEPERCAYAAN DIRI (SELF EFFICACY) DAN KETERAMPILAN HALUS (SOFT SKILL)

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Model Pembelajaran Matematika pada semester genap tahun akademik 2015/2016
dengan dosen pembimbing Maulana, M.Pd.



Disusun oleh :
Kelompok 1
Semester 6 Kelas 3D
1.      Trisna Nugraha            (No. Absen/NIM : 47 / 1307502)
2.      Annisa Listiorini         (No. Absen/NIM : 13 / 1306136)
3.      Tera Lawina Darajat   (No. Absen/NIM : 31 / 1306522)
4.      Maharani Larasati P.   (No. Absen/NIM : 46 / 1307346)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS SUMEDANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keyakinan Diri (Beliefs), Kepercayaan Diri (Self Efficacy) dan Keterampilah Halus (Soft Skill)” tepat pada waktunya. Rasa hormat dan ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Maulana, M.Pd., selaku dosen pengampu matakuliah Model Pembelajaran Matematika atas ilmu, bimbingan, motivasi, dan saran yang diberikan selama perkuliahan. Makalah ini akan membahas mengenai kemampuan keyakinan diri, kepercayaan diri dan keterampilan halus sebagai goals atau perilaku yang harus diperoleh peserta didik dalam pembelajaran matematika.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan do’a serta dukungan baik secara moril maupun materiil, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.      Bapak Maulana, M.Pd. selaku dosen pengampu matakuliah Model Pembelajaran Matematika.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi materi, tata bahasa, penulisan kalimat, maupun kajian teori. Oleh karena itu kami menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar kami dapat memperbaikinya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

                                                                                    Sumedang, 28 April 2016



         Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................   i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah...................................................................  1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................  2
1.3  Tujuan Pembahasan..........................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Konsep dan Implementasi Keyakinan Diri (Beliefs)........................   4
2.2  Konsep dan Implementasi Kepercayaan Diri (Self Efficacy)............  13
2.3  Konsep dan Implementasi Keterampilan Halus (Soft Skill)..............   23
BAB III PENUTUP
3.1  Simpulan........................................................................................... 29
3.2  Saran................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 31






BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah
Belajar pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi terhadap situasi dan lingkungan yang berada di sekitar individu. Belajar sendiri dilakukan agar terjadi perubahan perilaku sebagai tujuan dan proses berbuat melalui pengalaman. Perubahan yang dimaksud hendaknya terjadi sebagai akibat interaksi dengan lingkungannya. Konsep belajar, mengajar dan pengajaran melahirkan suatu konsep yakni pembelajaran yang merupakan salah satu upaya interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran matematika dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik yang dilakukan secara sadar dan dilakukan dengan tujuan peserta didik dapat memahami konteks metamatika yang diajarkan.
Terdapat beberapa anak yang tidak percaya diri, tidak yakin bahwa di dalam dirinya memiliki suatu kemampuan, bakat yang seharusnya ditunjukkan. Timbulnya rasa kurang percaya diri terhadap sesuatu hal yang ingin kita lakukan, sebenarnya itu merupakan sebuah perasaan, yang mana perasaan seorang anak itu tidak nyaman dengan lingkungan. Kemudian dengan munculnya rasa tidak nyaman, seorang anak akan merasa malu dan takut untuk melakukan suatu hal.
Sehingga peran orangtua sangat dibutuhkan dan diharapkan oleh mereka, karena orangtua dapat menjadi pelindung bagi mereka ketika berbuat salah. Sebagai orangtua tidak perlu cemas akan hal seperti itu, karena suatu saat anak akan terbiasa dengan lingkungan baru setelah mereka mengenal guru-guru dan teman-temannya. Apabila kita sebagai orangtua menemukan kendala kurang percaya diri, maka upaya para orang tua yang dapat dilakukan adalah melatih anak dengan membawanya ke tempat-tempat ramai misalnya pergi mall, nonton pertandingan bola di lapangan. Tapi perlu diperhatikan juga, kita tidak boleh memaksakan kehendak seorang anak kurang menyenanginya, itu dapat membuat anak trauma.
Tidak hanya peran orangtua, peran guru juga sangat penting dan dapat membantu ketika di sekolah. Jika seorang anak terlihat kurang percaya diri, guru lebih mengerti dan tahu bagaimana cara utuk mengatasinya karena guru sudah di bekali sebuah pendidikan. Akan tetapi, ketika guru sedang memberikan arahan atau nasehat kepada anak dan ternyata anak terlihat kurang suka, biarkan saja karena ia akan terbiasa dan merasa nyaman, anak pun akan tumbuh rasa percaya diri.

1.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut ini.
1.2.1        Bagaimana konsep dan implementasi dari keyakinan diri (beliefs) sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika?
1.2.2        Bagaimana konsep dan implementasi dari kepercayaan diri (self efficacy) sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika?
1.2.3        Bagaimana konsep dan implementasi keterampilan halus (soft skill) sebagai tujuan dalam pembelajaran matematika?

1.3     Tujuan Pembahasan
Adapun beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam  penulisan makalah ini di antaranya sebagai berikut.
1.3.1        Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep dan implementasi keyakinan diri (beliefs) sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.
1.3.2        Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep dan implementasi kepercayaan diri (self efficacy) sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.
1.3.3        Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep dan implementasi keterampilan halus (soft skill) sebagai tujuan dalam pembelajaran matematika.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Keyakinan Diri (Beliefs)
2.1.1        Definisi Keyakinan Diri (Beliefs)
Keyakinan diri merupakan salah satu aspek afektif yang diharapkan dapat muncul dan berkembang dalam pembelajaran matematika. Secara umum keyakinan diri atau belief dapat diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap sesuatu. Sehingga bila dikaitkan dengan pembelajaran matematika, keyakinan diri atau belief yaitu keyakinan peserta didik terhadap matematika yang mempengaruhi respon dirinya terhadap masalah matematika. Namun jika dilihat dalam pandangan yang lebih luas, keyakinan diri pada pembelajaran matematika dapat dipandang sebagai keyakinan peserta didik terhadap karakteristik matematika, keyakinan peserta didik terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan peserta didik terhadap proses pembelajaran dan keyakinan peserta didik terhadap kegunaan matematika.
Keyakinan diri atau beliefs pada dasarnya terbentuk dari suatu konsep keyakinan. Adapun beberapa ahli mendefinisikan secara formal mengenai keyakinan diantaranya sebagai berikut ini.
1)        Cooper dan Mc Gaugh (dalam Sugiman, 2009, hlm. 2), keyakinan adalah sikap yang melibatkan sejumlah struktur kognitif. Keyakinan berkonotasi dengan sikap seseorang secara mendalam terhadap suatu objek.
2)        Rokeach (dalam Sugiman, 2009, hlm. 3), keyakinan adalah pernyataan yang sederhana, disadari atau tidak disadari sebagai bagian dari apa yang seseorang katakan atau lakukan, biasanya didahului dengan ungkapan “saya percaya bahwa....”.
3)        Goldin (dalam Sugiman, 2009, hlm. 3) bahwa struktur keyakinan ada pada masing-masing individu yang terbentuknya dipengaruhi melalui interaksi dengan sistem keyakinan pada kelompok sosial.
Berdasarkan pemaparan berbagai definisi mengenai keyakinan, dapat disimpulkan bahwa keyakinan datang atau berasal dari diri sendiri, keyakinan seseorang dapat dikatakan dapat pula dilakukan, suatu keyakinan seseorang dapat dipengaruhi juga oleh kelompok sosial (lingkungannya). Beralih dari konsep keyakinan, konsep keyakinan diri pertama kali dikemukakan oleh Bandura dimana menurut Bandura (dalam Silitonga, 2011) keyakinan diri mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu.
Pervin (dalam Silitonga, 2011) menegaskan kembali pernyataan Bandura bahwa keyakinan diri adalah kemampuan yang dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus. Keyakinan diri atau beliefs juga dapat diartikan sebagai perasaan yang kuat terhadap kebenaran atau keberadaan sesuatu atau percaya terhadap kebenaran dan kebaikan dari suatu perkara. Dengan demikian keyakinan diri dapat disimpulkan sebagai perasaan individu atau peserta didik mengenai kemampuan dirinya untuk mengatur dirinya dan membentuk perilaku yang relevan dengan situasi yang terjadi dalam diri atau lingkungan.

2.1.2        Sumber Keyakinan Diri (Beliefs)
Keyakinan diri dapat berasal dari dalam diri sendiri dan dapat juga dipengaruhi dari beberapa faktor eksternal. Lebih rincinya, Bandura (dalam Silitonga, 2011) menjelaskan bahwa keyakinan diri individu didasarkan pada empat hal, diantaranya sebagai berikut.
1)         Pengalaman akan kesukesan.
Banyak orang mengatakan bahwa pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga atau dalam bahasa Inggris terdapat ungkapan the experience is the best teacher bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik. Maka dari itu pengalaman yang berhubungan dengan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap keyakinan diri individu karena pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang didasarkan pada pengalaman autentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan keyakinan diri individu meningkat, karena pada dasarnya diri individu akan memiliki semangat yang tinggi ketika dia memiliki kesuksesan terhadap sesuatu yang ingin dicapainya.
Sementara kebalikan dari kesuksesan adalah kegagalan. Kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya keyakinan diri, khususnya jika kegagalan terjadi ketika keyakinan diri individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan keyakinan diri individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.
2)         Pengalaman individu lain.
Selain daripada pengalaman akan kesuksesan. Individu tidak bergantung hanya pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber keyakinan dirinya. Namun, keyakinan diri seseorang juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Orang lain atau lingkungan seseorang akan mempengaruhi satu sama lain, dimana individu lain akan melakukan pengamatan terhadap individu lainnya mengenai keberhasilan individu lain tersebut dalam bidang tertentu. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan keyakinan diri individu tersebut pada bidang yang sama.
Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik atau bahkan lebih baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan keyakinan diri individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.
3)         Persuasi verbal.
Hampir serupa dengan motivasi bahwa keyakinan diri dapat juga berasal dari suatu persuasi verbal. Persuasi verbal merupakan suatu ajakan atau dorongan yang bersifat lisan dan dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan.
4)         Keadaan fisiologis.
Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri hampir sama dengan motivasi yakni dapat bersumber dari dalam diri atau faktor intern maupun dari luar atau biasa disebut dengan faktor ekstern. Kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi keyakinan diri dalam diri seseorang. Sehingga pendidik perlu menekankan beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya yaitu memfasilitasi peserta didik untuk semakin berprestasi, memberikan pengalaman individu lain yang dapat dipelajari dan memberikan beberapa persuasi baik verbal ataupun tulisan sehingga peserta didik merasa yakin atas kemampuannya.

2.1.3        Dimensi Keyakinan Diri (Beliefs)
Bandura (dalam Silitonga, 2011) mengemukakan bahwa keyakinan diri individu dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength). Ketiga dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)         Tingkat (level). Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki keyakinan diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki keyakinan diri yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian tingkat kesukaran dari suatu permasalahan matematis bersifat relatif disesuaikan dengan tingkat keyakinan diri peserta didik.
2)         Keluasan (generality), berkaitan dengan keluasan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan keyakinan diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki keyakinan diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas. Sehingga kekuatan keyakinan diri pada peserta didik dapat berdampak kepada sejauh mana peserta didik yakin dalam mengerjakan tugas yang bersifat multitasking layaknya komputer.
3)         Kekuatan (strength), merupakan suatu dimensi yang lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Keyakinan diri menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Keyakinan diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.



2.1.4        Aspek-aspek Keyakinan Diri (Beliefs)
Keyakinan yang dimiliki seseorang pada dasarnya dipengaruhi oleh diri dan lingkungannya. Hal tersebut yang berdampak pada keyakinan seseorang yang dapat berubah. Sama halnya dengan keyakinan dalam matematika yang meliputi keyakinan terhadap diri dan di luar dirinya. Sebagai akibat dari beragamnya definisi mengenai keyakinan diri maka aspek yang diukur dalam menentukan keyakinan seseorang juga berbeda-beda. Oleh sebab itu, ada beberapa ahli yang memaparkan macam-macam keyakinan matematika tersebut, diantaranya sebagai berikut.
1)         Underhill (dalam Sugiman, 2009, hlm. 6) mengungkapkan bahwa keyakinan matematika dapat digolongkan menjadi empat macam yaitu keyakinan tentang matematika sebagai suatu disiplin, keyakinan tentang belajar matematika, keyakinan tentang pengajaran matematika, keyakinan tentang dirinya dalam konteks sosial.
2)         McLeod (dalam Sugiman, 2009, hlm. 6) membagi keyakinan diri sebagai berikut yaitu keyakinan tentang matematika, keyakinan tentang dirinya, keyakinan tentang pengajaran matematika dan keyakinan tentang konteks sosial.
3)         Kloosterman (dalam Sugiman, 2009, hlm. 6) membagi keyakinan diri menjadi keyakinan tentang matematika dan keyakinan tentang pembelajaran matematika (meliputi, keyakinan tentang dirinya sebagai pebelajar matematika, keyakinan tentang peran guru, keyakinan lain tentang belajar matematika).
4)         Pehkonen (dalam Sugiman, 2009, hlm. 6) menyatakan macam-macam keyakinan diri yakni keyakinan tentang matematika, keyakinan tentang dirinya dalam matematika, keyakinan tentang pengajaran matematika dan keyakinan tentang belajar matematika.
5)         Goldin (dalam Sugiman, 2009, hlm. 7) menggolongkan keyakinan matematika menjadi 4 yaitu keyakinan tentang matematika sebagai disiplin ilmu, keyakinan tentang pendidikan matematika, keyakinan tentang kemampuan diri dan keyakinan tentang peran siswa dan guru dalam pembelajaran matematika.
Dari berbagai macam aspek dalam keyakinan matematika, dapat disimpulkan garis besar aspek-aspek keyakinan diri dalam matematika sesuai dengan definisi yang sebelumnya sudah dipaparkan yaitu keyakinan terhadap karakteristik matematika, keyakinan terhadap kemampuan diri siswa dalam matematika, keyakinan terhadap jalannya proses pembelajaran dalam matematika, dan keyakinan terhadap kegunaan matematika. Selain daripada aspek-aspek keyakinan matematika itu sendiri Sugiman (2009, hlm. 3) mengemukakan tiga aspek yang secara simultan mempengaruhi keyakinan matematik, yakni objek pendidikan matematika, konteks kelas, dan dirinya sendiri. Ketiga aspek tersebut satu sama lain saling terkait dalam membentuk keyakinan matematik dalam diri siswa. Sehingga guru harus memperhatikan kondisi masing-masing siswa, buku matematika yang menjadi pegangan, media pembelajaran, dan metode mengajar.

2.1.5        Indikator Keyakinan Diri (Beliefs)
Keyakinan diri atau beliefs dapat dilihat dari beberapa indikator atau sikap yang nampak dalam pembelajaran matematika. Adapun beberapa indikator yang mengindikasikan keyakinan diri dalam pembelajaran matematika yang masih berlandaskan kepada beberapa aspek keyakinan diri diantaranya sebagai berikut ini.
1)         Keyakinan peserta didik terhadap karakteristik matematika.
a)      Matematika dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan penuh rumus.
b)      Matematika dipandang sebagai ilmu yang terbentuk dari proses penalaran.
c)      Matematika dipandang sebagai ilmu berpikir logis, kritis dan kreatif.
2)         Keyakinan peserta didik terhadap kemampuan diri sendiri.
a)      Pandangan peserta didik terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya.
b)      Pandangan tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki peserta didik pada matematika.
3)         Keyakinan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran matematika.
a)      Pandangan peserta didik terhadap proses pembelajaran matematika yang ideal.
b)      Pandangan peserta didik terhadap keberhasilan proses pembelajaran matematika.
c)      Pandangan peserta didik terhadap kendala yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran matematika.
4)         Keyakinan peserta didik terhadap kegunaan matematika.
a)      Pandangan peserta didik terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
b)      Pandangan peserta didik terhadap kegunaan matematika dalam bidang ilmu lain.

2.1.6        Proses Keyakinan Diri (Beliefs)
Keyakinan diri dalam pembelajaran matematika tidak muncul begitu saja melainkan muncul melalui suatu proses psikologi. Bandura (dalam Wijaya, 2007, hlm. 32) menguraikan proses psikologi keyakinan diri dalam mempengaruhi fungsi manusia yang meliputi proses kognitif, motivasi, afeksi dan seleksi. Proses-proses tersebut diantaranya dapat dirinci lebih jelas sebagai berikut.
1)         Proses kognitif. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan.  Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Melalui proses ini, individu akan lebih memperhatikan setiap kejadian yang pernah dan belum terjadi. Proses ini membantu individu untuk meningkatkan keyakinan diri untuk mencapai tujuannya.
2)         Proses motivasi. Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri sendiri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan. Menetapkan keyakinan tersebut seperti mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dirinya dapat melakukan suatu tindakan yang akan dipilih dan juga merencanakan tindakan yang akan direalisasikan oleh individu tersebut. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai pengharapan.
3)         Proses afeksi. Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
4)         Proses seleksi. Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungannya yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Keridakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Keyakinan diri dapat membentuk hidup individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu ditanganinya. Individu akan memelihata kompetensi, minat dan hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan.



2.1.7        Cara Mengukur atau Penilaian Keyakinan Diri (Beliefs)
Untuk menilai keyakinan diri pada seseorang dapat dilakukan melalui pengamatan atau observasi terhadap diri siswa dalam pembelajaran matematika yang kemudian dituliskan kedalam suatu skala seperti menilai beberapa aspek atau kemampuan afektif lainnya. Model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Penilaian dilakukan terus menerus setiap saat guru berada di kelas atau sekolah.
Selain itu, Fauzi (tanpa tahun) mengungkapkan bahwa salah satu media untuk membawa belief siswa pada level sadar adalah pertanyaan open-ended. Ketika peserta didik mempertimbangkan respon-respon mereka terhadap pertanyaan tersebut maka keyakinan diri mereka mengenai matematika akan terungkap. Ketika sekelompok siswa membahas respon mereka terhadap pertanyaan tersebut, beberapa keyakinan diri siswa kemungkinan akan tertantang yang menuntun pada pemeriksaan terhadap keyakinan diri tersebut dengan meminta beberapa opininya atau kemungkinan modifikasi dari keyakinan atas jawabannya.
Splangler (dalam Fauzi, tanpa tahun) menyajikan beberapa bentuk pertanyaan open ended yang dapat digunakan untuk menyoroti belief siswa mengenai matematika. Pertanyaan tersebut tela diuji sebelumnya kepada beberapa seiap kolah dasar, dan jenjang pendidikan lainnya. Setiap pertanyaan diikuti oleh setiap ringkasan respon-respon khusus dari kelompok yang disebutan sebelumnya. Respon dari beragam populasi cukup sama karena keyakinan yang dianut oleh kelompok tersebut umumnya hampir sama. Adapun beberapa pertanyaan yang digunakan untuk mengungkap belief atau keyakinan diri peserta didik tersebut diantaranya yaitu sebagai berikut ini.
1)         Jika anda dan seorang teman anda mendapatkan jawaban-jawaban berbeda untuk masalah yang sama, apakah yang akan anda lakukan?
2)         Jika diberikan suatu pilihan, akankah anda memilih untuk memiliki sebuah metode yang bekerja sepanjang waktu atau banyak metode yang bekerja hanya sepanjang waktu untuk menyelesaikan masalah?
3)         Bagaimana anda mengetahui kapan anda telah secara benar memecahkan suatu masalah matematika?
Dari beberapa pertanyaan tersebut dapat disajikan beberapa respon umum yang dihasilkan diantaranya sebagai berikut.
1)         Jawaban paling umum untuk pertanyaan nomor satu yaitu siswa keduanya akan mengerjakan kembali masalah itu.
2)         Jawaban umum untuk nomor dua yaitu siswa akan lebih memilih untuk memiliki satu metode untuk memecahkan masalah karena mereka tidak harus mengingat banyak atau menganggap memorisasi sebagai komponen utama pembelajaran matematika.
3)         Jawaban umum untuk pertanyaan nomor tiga yaitu mengerjakan kembali masalah, mengecek dengan guru atau teman sekelas, melihat kembali ke buku, bekerja mundur atau memasukan nilai-nilai.

2.2  Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
2.2.1        Pengertian Kepercayaan Diri (Self-Efficacy)
Percaya diri adalah sikap yang timbul dari keinginan untuk senantiasa mewujudkan diri dalam bertindak dan berhasil. Lauster (Rustanto, 2013) menjelaskan bahwa,
Kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri.

Percaya diri merupakan salahsatu sikap positif yang memiliki seorang individu. Dimana ia membiasakan dan memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, lingkungan serta situasi yang dihadapi untuk meraih apa yang diinginkan. Biasanya orang yang tidak percaya diri selalu memiliki konsep diri negatif, karena ia kurang percaya terhadap kemampuan yang dimilikinya sehingga menjadi pribadi yang tertutup. Hal ini sejalan dengan pengertian kepercayaan diri menurut Jacinta F. Rini (Rustanto, 2013), yakni sebagai berikut.
Kepercayaan diri merupakan sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek pada kehidupan individu tersebut di mana ia merasa memiliki kompetensi, yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi, serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.

Adapun menurut Thantaway dalam kamus istilah bimbingan dan konseling (Rustanto, 2013), “Percaya diri adalah kondisi mental atau psikologi diri seorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan”. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang kuat cenderung akan memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai keberhasilan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah sikap positif yang dimiliki individu untuk senantiasa memiliki keyakinan, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang didukung oleh pengalaman dan beberapa potensi yang dimiliki. Implikasinya, guru harus senantiasa menanamkan rasa percaya disri terhadap peserta didik dalam setiap aktivitas pembelajaran.

2.2.2        Aspek-aspek Kepercayaan Diri (Self-Efficacy)
Menurut Lauster (Ghufron dan Rini R., dalam Hapsari, M. J., 2011), peserta didik yang memiliki rasa percaya diri positif memiliki sikap sebagai berikut.
1)        Keyakinan akan kemampuan diri, yaitu sikap positif individu tentang dirinya bahwa ia mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya.
2)        Optimis, yaitu sikap positif individu yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentanf diri, harapan, dan kemampuannya.
3)        Objektif, yaitu individu yang percaya diri memandang permasalahan atau sesuatu sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.
4)        Bertanggung jawab, yaitu kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.
5)        Rasional, yaitu analisa terhadap sesuatu masalah, sesuatu hal, sesuatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.
Individu yang memiliki rasa percaya diri akan merasa yakin dengan kemampuan dirinya, sehingga bisa menyelesaikan masalah dalam hidupnya, serta mempunyai sikap positif yang didasari keyakinan akan kemampuannya. Individu tersebut bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambil serta mampu menatap fakta dan realita secara objektif yang didasari keterampilan.

2.2.3        Jenis-jenis Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Lindenfield (Nur’asyah, dalam Repository UIN, Tanpa tahun) menjelaskan bahwa kepercayaan diri terbagi menjadi dua jenis, yaitu kepercayaan diri lahir dan kepercayaan diri batin. Untuk mengetahui lebih jelas kedua jenis kepercayaan diri tersebut, berikut penjelasannya.
1)        Kepercayaan diri lahir adalah keyakinan pada diri sendiri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku agar dapat dipahami oleh lingkungan sosial.
Kepercayaan ini terdiri dari:
a)         Mampu berkomunikasi
b)        Mampu menampilkan diri
c)         Dapat mengendalikan emosi
d)        Memiliki ketegasan
Perilaku-perilaku ini lebih kepada cara seseorang menunjukkan percaya dirinya di hadapan orang lain, di mana dengan perilaku tersebut seseorang akan merasa sangat bangga dengan apa yang telah dilakukannya.
2)        Kepercayaan diri batin adalah kepercayaan diri yang memberikan perasaan dan anggapan bahwa individu dalam keadaan baik. Kepercayaan ini terdiri dari:
a)         Cinta diri
b)        Pemahaman diri
c)         Memiliki tujuan yang jelas
d)        Berpikir positif
Orang yang memiliki rasa percaya diri akan mencintai diri mereka sendiri, dan cinta diri ini bukanlah suatu hal yang dirahasiakan. Dimana ia akan lebih peduli pada diri sendiri, karena perilaku dan gaya hidupnya untuk memelihara diri. Selain itu, orang yang percaya diri juga secara teratur memikirkan perasaan, pikiran, dan perilaku, serta selalu ingin tahu bagaimana pendapat orang lain tentang dirinya. Orang yang percaya diri juga selalu tahu tujuan hidupnya, karena ia mempunyai pikiran yang jelas terhadap suatu tindakan dan hasil yang bisa diharapkan diri apa yang dilakukannya. Kemudian, orang yang memiliki kepercayaan diri biasanya hidupnya menyenangkan, karena mereka biasa melihat kehidupannya dari sisi positif.
Kepercayaan diri batin ini pada intinya lebih kepada tumbuhnya rasa percaya terhadap apa yang ada dalam dirinya itu bernilai atau berada dalam keadaan baik. Untuk itu, seseorang yang memiliki kepercayaan diri batin akan memposisikan dirinya sebagai individu yang baik untuk dapat menunjang kepercayaan diri lahirnya.
Dari kedua jenis kepercayaan diri di atas, dapat disimpulkan bahwa meski antara kedua jenis kepercayaan diri tersebut berbeda, tetapi keduanya saling mendukung satu sama lain untuk seharusnya dimiliki oleh setiap individu. Dimana keduanya saling berkaitan dalam pembentukan kepercayaan diri individu tersebut.

2.2.4        Karakteristik Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Berbagai karakteristik percaya diri telah diungkapkan oleh para ahli. Berikut ini karakteristik percaya menurut Lauster (Rustanto, 2013).
1)        Percaya kepada kemampuan sendiri, artinya keyakinan atas diri sendiri terhadap segala sesuatu yang terjadi, yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi dan mengatasinya.
2)        Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, artinya bertindak dalam mengambil keputusan atas segala sesuatu yang terjadi secara mandiri tanpa ada keterlibatan orang lain, dan meyakini tindakannya tersebut.
3)        Memiliki konsep diri yang positif, artinya adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan maupun tindakan yang dilakukan yang dapat menimbulkan rasa positif terhadap diri sendiri.
4)        Berani mengungkapkan pendapat, artinya sikap untuk mampu mengutarakan pendapat yang ingin dikemukakan kepada orang lain tanpa adanya paksaan, tekanan, atau hal yang dapat menghambat pengungkapan pendapat tersebut.
5)         
2.2.5        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Menurut Ghufron (Tanpa nama, 2011), rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Penjelasannya yaitu sebagai berikut.
1)        Faktor Internal
a)         Konsep Internal
Terbentuknya percaya diri pada seseorang di awali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Konsep diri merupakan gagasan tenetang dirinya sendiri. individual yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaiknya individu yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.
b)        Harga Diri
Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Individu yang memiliki harga diri tinggi akan mneilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya, serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Individu yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil, percaya bahwa usahanya mudah, dan menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi individu yang mempunyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri, biasanya terbentur pada kesulitan sosial, dan pesimis dalam pergaulan.
c)         Kondisi Fisik
Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada rasa percaya diri penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang, dan ketidak mampuan fisik dapat menyebabkan rendah diri.
d)        Pengalaman Hidup
Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Apalagi jika pada dasaranya individu memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian.
2)        Faktor Eksternal
a)         Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi percaya diri individu, tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannyayang lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada orang lain. Individu  akan mampumemenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi  dari  sudut kenyataan.
b)        Pekerjaan
Bekerja dapat mengembangkan kreativitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan selain materi yang diperoleh. Keputusan dan rasa bangga didapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri.
c)         Lingkungan
Lingkungan di sini merupakan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota keluarga yang sering berinteraksi dengan baik, akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat, semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang.

2.2.6        Manfaat Kepercayaan Diri (self Efficacy)
Kepercayaan diri memiliki manfaat yang sangat besar untuk setiap individu sebagaimana  menurut Abdi (2012), manfaatdari percaya diri di antaranya sebagai berikut.
1)        Berani menjadi individu yang sesuai dengan jati diri.
2)        Selalu optimis dalam menjalani semua hal.
3)        Akan mudah untuk meraih kesuksesan.
4)        Tidak ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.
5)        mampu untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki.
6)        Mampu untuk mengekspresikan diri secara positif.
7)        Mudah berpikir secara realitis.
8)        Memiliki kemampuan untuk memimpin dan dipimpin.
9)        Siap mengkritik dan dikritik.
10)    Mempunyai  semanagat yang lebih tinggi.
Selain itu, Awaludin (2009) juga mengemukakan manfaat percaya diri seperti berikut.
1)        Menjadi pribadi yang tahan banting. Individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, karena telah mempunyai prinsip yang kuat.
2)        Mampu mengatasi keadaan dengan baik, artinya mampu menggunakan akal bijak sehingga tidak mudah untuk terprovokasi.
3)        Tahu kapasitas diri sendiri, sehingga mengerjakan sesuatu secara efektif dan efisien.
4)        Memandang semua hal secara optimis.
5)        Kualitas kepribadian meningkat yang tentunya akan meningkatkan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.
6)        Mampu mengontrol emosi dengan baik.
7)        Hidup akan lebih sistematis.
Dengan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, maka kualitas hidup seseorang dapat meningkat. Hal ini disebabkan, seseorang yang memiliki rasa percaya diri dapat mengendalikan dan menggunakan akal dengan bijak dan mampu menontrol emosi dengan baik. Begitupula dengan peserta didik sekolah dasar, jika ia mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, maka berdampak baik pada keberhasilannya di sekolah. Kepercayaan diri merupakan salahsatu modal yang dibutuhkan oleh peserta didik dalam belajar, yang akan menentukan keberhasilan peserta didik di sekolah. Dengan percaya diri, peserta didik juga dapat termotivasi untuk menjadi yang terbaik di kelas maupun sekolahnya.
2.2.7        Proses Pembentukan Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Untuk memiliki kepercayaan diri, tidak semua orang mendapatkannya secara langsung. Akan tetapi, ada beberapa proses yang dapat dilakukan demi terbentuknya rasa percaya diri dalam diri pribadi seseorang. Thursan Hakim (Repository UIN, Tanpa tahun), mengatakan bahwa secara garis besar rasa percaya diri yang kuat akan terbentuk melalui proses sebagai berikut.
1)        Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.
2)        Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya.
3)        Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri.
4)        Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya.
Dari beberapa proses di atas, dapat disimpulkan bahwa pada intinya rasa percaya diri akan terbentuk dari adanya dorongan dalam diri mengenai kelebihan-kelebihan dan pengalaman baik yang ia miliki untuk kemudian ia tunjukkan pada orang lain. Di samping itu, kelemahan-kelemahan yang dimilikinya secara sadar dipikirkannya bukan untuk menjadikannya rendah diri, tetapi hal itu merupakan suatu dorongan dimana ia bisa tetap berpikiran positif dan mampu menyesuaikan diri di samping kelemahan yang dimilikinya tersebut.

2.2.8        Cara Meningkatkan Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Kepercayaan diri tidak akan muncul dengan begitu saja, melainkan melalui proses yang terjadi. Dengan kata lain, suatu rasa percaya diri harus dipupuk sehingga dapat berkembang dengan baik. Pada dasarnya, kepercayaan diri yang dimiliki pada tiap individu berbeda-beda. Ada yang kurang percaya diri, ada yang tidak percaya diri, dan ada juga yang terlalu percaya diri. Romansah (2012) mengemukakan, bahwa ada beberapa cara untuk meningkatkan rasa percaya diri peserta didik yang dapat dilakukan di sekolah, diantaranya.
1)        Mengikuti kegiatan lomba-lomba. Dengan mengikuti berbagai macam lomba, rasa percaya diri siswa dapat meningkat dengan baik. Baik itu perlombaan akademik maupun non-akademik. Implikasinya, guru dapat menyampaikan materi ajar melalui permainan, sehingga siswa dapat berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik.
2)        Memperbanyak kegiatan yang mengasah skill individu siswa. Guru dapat mengasah skill siswa dengan cara penggunaan metode ajar yang beragam. Misalnya, dengan membiarkan siswa menemukan sendiri pengetahuannya ataupun membebaskan siswa untuk membuat karya sederhana sesuai dengan tujuan pembelajaran.
3)        Pemberian tugas individual. Melalui belajar mandiri siswa menjadi terbiasa memecahkan masalah, terlepas apakah jawaban yang diperoleh tepat atau tidak karena dapat didiskusikan bersama guru maupun siswa yang lain. Yang paling penting, peserta didik memiliki rasa percaya diri dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

2.2.9        Penilaian Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Ketika peserta didik memiliki rasa percaya diri, maka hal itu akan sangat menguntungkan bagi pesreta didik terhadap kemampuannya untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar. Untuk kepercayaan diri peserta didik tersebut, diperlukan suatu penilaian yang menurut Bastiawan (2013) adalah sebagai berikut.
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai sikap percaya diri yang ditampilkan oleh siswa, dengan kriteria sebagai berikut.
4= selalu, apabila selalu melakukan sesuai pernyataan           
3= sering, apabila sering melakukan sesuai pernyataan dan kadang-kadang tidak melakukan
2= kadang-kadang, apabila kadang-kadang melakukan dan sering tidak melakukan
1= tidak pernah, apabila tidak pernah melakukan
No.
Aspek Pengamatan
Skor Perolehan
4
3
2
1
1.
Berani presentasi di depan kelas




2.
Berani berpendapat, bertanya, atau menjawab pertanyaan




3.
Berpendapat atau melakukan kegiatan tanpa ragu-ragu




4.
Mampu membuat keputusan dengan cepat




5.
Tidak mudah putus asa atau pantang menyerah




Petunjuk Penskoran:
Skor akhir menggunakan skala 1 sampai 4
Perhitungan skor akhir menggunakan rumus:

2.3  Keterampilan Halus (Soft Skill)
2.3.1        Pengertian Keterampilan Halus (Soft Skill)
Ardiyansyah (2010), soft skill merupakan suatu kemampuan, bakat, atau keterampilan yang ada pada diri individu. Soft skill bersifat non-teknis, artinya tidak berbentuk atau tidak terlihat wujudnya. Soft skill mencakup tingkah laku personal dan tingkah laku interpersonal. Soft skill personal artinya kemampuan yang dimanfaatkan untuk diri sendiri, sedangkan soft skill interpersonal merupakan kemampuan yang dimanfaatkan untuk diri sendiri dan orang lain.
Widyaningsih (2011) menyatakan, bahwa terdapat aspek-aspek dalam kemampuan personal, yaitu sebagai berikut.
1)        Kesadaran diri (self awareness), yang di dalamnya meliputi: kepercayaan diri, kemampuan untuk melakukan penilaian dirinya, pembawaan, serta kemampuan mengendalikan emosional.
2)        Kemampuan diri (self skill), yang di dalamnya meliputi: upaya peningkatan diri, kontrol diri, dapat dipercaya, dapat mengelola waktu dan kekuatan, proaktif, dan konsisten.
Selain itu, kemampuan interpersonal juga mencakup dalam beberapa aspek, diantaranya.
1)        Aspek kesadaran sosial (social awareness), yang meliputi: kemampuan kesadaran politik, pengembangan aspek-aspek yang lain,  berorientasi untuk melayani dan empati.
2)        Aspek kemampuan sosial (social skill), yang meliputi: kemampuan memimpin, mempunyai pengaruh, dapat berkomunikasi, mampu mengelola konflik, kooperatif dengan siapapun, dapat bekerjasama dengan tim, dan bersinergi.
Soft skill juga dapat diartikan sebagai suatu keterampilan dan kecakapan hidup, baik dnegan diri sendiri, berkelompok atau bermasyarakat, serta dengan Sang Pencipta (Elfindri, dalam Widyaningsih, 2011). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keterampilan halus (soft skill) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu, keterampilan tersebut tidak berwujud, dan mencakup tingkah laku personal dan interpersonal. Di mana dengan memiliki soft skill tersebut dapat meningkatkan kecakapan hidup, baik dnegan diri sendiri, kelompok, masyarakat, maupun dengan Sang Pencipta.

2.3.2        Indikator Keterampilan Halus (Soft Skill)
Menurut Setiani (2011), penerapan dan pengembangan soft skills di sekolah dasar (SD) bertujuan dalam pembinaan mentalitas (personal skill dan interpersonal skill) pada diri siswa. Hal ini dilakukan, agar lulusan dari SD dapat menjadi dasar yang terbaik dalam pengembangan keterampilan lebih lanjut di jenjang pendidikan selanjutnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, indikator yang dapat dikembangkan di antaranya yaitu siswa dapat berkomunikasi tertulis dan lisan, bekerja mandiri, bekerja dalam tim, berpikir logis, dan berpikir analitis. Dalam indikator tersebut tercakup sepuluh atribut soft skill, seperti inisiatif, integritas, berpikir analitis, kemauan untuk belajar, komitmen, motivasi untuk meraih prestasi, antusias, kemampuan berkomunikasi, andal (reliable), dan berkreasi. Berikut penjelasan dari kesepuluh atribut soft skill tersebut.
1)        Inisiatif, maksudnya yaitu sikap di mana siswa dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan tanggung jawab serta mengembangkan tingkah laku yang positif.
2)        Integritas, maksudnya yaitu siswa memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
3)        Berpikir analitis, maksudnya yaitu siswa diharapakan dapat berpikir kritis dan menganalisis keadaan untuk memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi.
4)        Kemauan untuk belajar, maksudnya yaitu melalui kegiatan pembelajaran yang menyenangkan siswa akan tumbuh keinginan untuk terus belajar serta menuntut ilmu.
5)        Komitmen, maksudnya yaitu teguh terhadap keputusan yang diambil.
6)        Motivasi untuk meraih prestasi, maksudnya yaitu siswa diharapkan memiliki semangat untuk meraih prestasi dengan siswa lainnya.
7)        Antusias, maksudnya yaitu siswa memiliki gairah atau semangat dalam belajar.
8)        Kemampuan berkomunikasi, maksudnya yaitu siswa diharapkan dapat melakukan komunikasi dengan siswa lainnya. Kemampuan berkomunikasi ini dapat dikembangkan melalui kegiatan kelompok dan berdiskusi.
9)        Andal  (reliable), maksudnya yaitu siswa memiliki kemampuan yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah.
10)    Berkreasi, maksudnya yaitu setiap siswa dapat mengembangkan kreativitasnya dengan berkreasi.
Melihat dari indikator-indikator di atas, keterampilan halus siswa sebenarnya dapat dilatihkan kepada siswa dalam proses pembelajaran. Misalnya saja dalam kegiatan belajar, siswa diharapkan dapat memiliki kemauan untuk belajar atau antusiasme yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kecintaannya terhadap mata pelajaran tersebut. Selain itu, ketika siswa dihadapkan pada suatu permasalahan dalam belajar diharapkan siswa dapat berinisiatif hingga berkreasi dalam mencari penyelesaian permasalahan tersebut. Banyak cara atau mungkin sebenarnya serangkaian kegiatan pembelajaran merupakan bagian penting dari keterampilan halus (soft skill) siswa yang perlu dikembangkan dan dimiliki siswa dengan baik.

2.3.3        Manfaat Keterampilan Halus (Soft Skill)
Soft skill memiliki banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh individu terutama kelak ketika bergaul di masyarakat dan memasuki dunia kerja. Dimana kelak dituntut untuk ahli dalam bidang tertentu. Bahkan ketika individu memiliki soft skill yang baik, ia dapat mencapai kesuksesan yang luar biasa.
Gibran (2013) mengemukakan beberapa manfaat soft skill, di antaranya adalah sebagai berikut.
1)         Sebagai atribut kualitas jasa.
2)         Dapat memiliki sifat mandiri.
3)         Dapat membangun karakter individu.
4)         Dapat membangun kepribadian individu yang berkualitas.
5)         Dapat menumbuhkan rasa percaya diri.
6)         Dapat bersosialisasi dalam tim.
7)         Dapat menumbuhkan kepekaan wawasan pemikiran dan kepribadian individu.
8)         Dapat membentuk jiwa yang kritis di dalam diri individu.

Manfaat soft skill ini juga dapat dirasakan dalam pembelajaran, seperti yang dikemukakan oleh Chika (2011) diantaranya.
1)         Siswa dapat berpartisipasi dalam kelompok.
2)         Siswa sebagai subjek belajar dapat mengajar orang lain.
3)         Siswa dapat memberikan layanan berupa pertolongan kepada temannya jika ada yang mengalami kesulitan.
4)         Siswa dapat memimpin sebuah kelompok.
5)         Siswa dapat melakukan negosiasi.
6)         Siswa dapat belajar menyatukan sebuah kelompok yang memiliki latar sosial budaya yang berbeda.
7)         Siswa dapat memotivasi dirinya sendiri.
8)         Siswa dapat belajar mengambil keputusan menggunakan keterampilan yang dimilikinya.
9)         Siswa dapat menggunakan kemampuan memecahkan masalah.
10)     Siswa dapat mengamati bentuk-bentuk etiket yang terdapat di lingkungannya.
11)     Siswa dapat berhubungan dengan orang lain.
12)     Siswa dapat melakukan basa-basi untuk memulai atau menjaga percakapan.
13)     Siswa dapat menjaga percakapan bermakna seperti dalam diskusi atau perdebatan.
14)     Siswa dapat belajar menetralkan argumen dengan bahasa yang sopan dan singkat.
15)     Siswa dapat menunjukkan minat dan berbicara dengan cerdas tentang topik apapun.
Dari uraian manfaat soft skill di atas, dapat dilihat  bahwa terdapat nilai afektif yang dapat diperoleh oleh peserta didik selama proses pembelajaran. Bahkan, melalui keterampilan halus ini pun dapat menunjang aspek kognitif dan keterampilan peserta didik.

2.3.4        Cara Meningkatkan Keterampilan Halus (Soft Skill) Siswa dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Keterampilan halus dalam pembelajaran matematika di sekolah sangat penting dan dibutuhkan oleh peserta didik dalam menunjang pembelajaran dan masa depan peserta didik. Menurut Budiono (2013), berikut ini beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan soft skill.
1)        Melalui learning by doing.
2)        Mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar manajemen.
3)        Berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.
Adapun langkah-langkah persiapan yang harus dilakukan oleh guru dalam pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan halus peserta didik, diantaranya.
1)        Susun tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
2)        Masukkan pada setiap tahap pelajaran soft skill apa yang dihasilkan.
3)        Rencanakan bagaimana metode operasional melaksanakannya, baik masing-masing tahap ajar, maupun pada beberapa pertemuan.
4)        Lakukan uji coba pada kelompok siswa atau suatu kelas.
5)        Review hasil uji coba untuk perbaikan.
6)        Finalisasi metode pembelajaran.


















BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Keyakinan diri merupakan sebagai perasaan individu atau peserta didik mengenai kemampuan dirinya untuk mengatur dirinya dan membentuk perilaku yang relevan dengan situasi yang terjadi dalam diri atau lingkungan. Adapun indikator-indikator keyakinan diri diantaranya, keyakinan peserta didik terhadapa karakteristik matematika, keyakinan peserta didik terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran matematika, dan keyakinan peserta didik terhadap kegunaan matematika. Selain itu, keyakinan diri seseorang juga harus melewati beberapa proses antara lain, proses kognitif, motivasi, afeksi, dan seleksi.
Kepercayaan diri adalah sikap positif yang dimiliki individu untuk senantiasa memiliki keyakinan, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang didukung oleh pengalaman dan beberapa potensi yang dimiliki. Implikasinya, guru harus senantiasa menanamkan rasa percaya disri terhadap peserta didik dalam setiap aktivitas pembelajaran. Keterampilan halus (soft skill) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu, keterampilan tersebut tidak berwujud, dan mencakup tingkah laku personal dan interpersonal. Di mana dengan memiliki soft skill tersebut dapat meningkatkan kecakapan hidup, baik dnegan diri sendiri, kelompok, masyarakat, maupun dengan Sang Pencipta.

3.2  Saran
Keyakinan diri (beliefs), kepercayaan diri (self afficacy) dan keterampilan halus (soft skills) perlu dimunculkan pada pembelajaran matematika di sekolah dasar disamping keterampilan kognitif. Hal tersebut dikarenakan secara tidak langsung beberapa kemampuan atau goals yang diharapkan muncul dalam pembelajaran matematika itu sangat mampu mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Oleh karena itu guru diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan memberikan keleluasaan bagi peserta didik dalam belajar matematika sehingga mampu meningkatkan keyakinan diri dan kepercayaan diri. Selain itu guru juga harus mampu melatih ketarampilan halus peserta didik yang dapat berguna baik bagi pembelajaran maupun kehidupannya. Disamping hal tersebut, guru juga harus mampu mengevaluasi beberapa keterampilan tersebut yang didasarkan kepada masing-masing indikator dari setiap keterampilan yang kemudian dapat dijadikan sebagai evaluasi dalam pengembangan pembelajaran dan pembentukan sikap peserta didik.










DAFTAR PUSTAKA

Ardiyansyah, R. (2010). Pengertian soft skill dan penjelasannya. [Online]. Diakses dari: http://hiddengrazz.blogspot.com/2010/09/pengertian-softskill-penjelasannya.html.
Awaludin. (2009). Manfaat dari percaya diri. [Online]. Diakses dari: http://mrasyiduddin.blogspot.in/2009/02/7-manfaat-dari-percaya-diri.html.
Bastiawan, A. (2013). Rubrik penilaian peserta didik 2013. [Online]. Diakses dari: http://bastiawanade.blogspot.in/2013/12/rubrik-penilaian-peserta-didik-2013.html.
Budiono, S. (2013). Apa, mengapa, dan bagaimana soft skill dapat meningkatkan potensi anak. [Online].  Diakses dari: http://konselordrsuko.blogspot.com/2013/10/pa-mengapa-dan-bagaimana-soft-skill.html.
Chika. (2011). Manfaat soft skill. [Online]. Diakses dari: http://chika-2513.blogspot.com/2011/09/manfaat-soft-skill.html.
Fauzi, M.A. (tanpa tahun). Pembentukan belief siswa melalui kemandirian belajar matematika di sekolah. [Online]. Diakses dari: http://digilib.unimed.ac.id /1030/2/FullText.pdf
Gibran, D. (2013). Soft skill. [Online]. Diakses dari: http://diahanandagibran.wordpress.com/2013/06/15/softskill/.
Hapsari, M. J. (2011). Upaya meningkatkan self-confidence siswa dalam pembelajaran matematika melalui model inkuiri terbimbing. [Online]. Diakses dari: http://eprints.uny.ac.id/7385/1/p-30.pdf.
Rustanto, B. (2013). Konsep kepercayaan diri. [Online]. Diakses dari: http://bambang-rustanto.blogspot.in/2013/08/konsep-kepercayaan-diri.html.
Repository UIN. (Tanpa tahun). Bab II: Tinjauan pustaka. [Online]. Diakses dari: http://repository.uin-suska.ac.id/1187/3/BAB%20II.pdf.
Romansah, W. (2012). Upaya sekolah untuk meningkatkan percaya diri siswa. [Online]. Diakses dari: http://kumengajar.blogspot.in/2012/05/upaya-sekolah-untuk-meningkatkan.html.
Sugiman. (2009). Aspek keyakinan matematik siswa dalam pendidikan matematika. [Online]. Diakses dari: http://staff.uny.ac.id/sites/default /files/131930135/2009b_KYM.pdf.
Silitonga, P. (2011). Hubungan antara keyakinan diri dengan penyesuaian diri siswa kelas X SMA Budi Murni Deli Tua yang tinggal di asrama. [Online]. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28486/5/ Chapter%20II.pdf.
Tanpa nama. (2011). Bab II tinjauan pustaka rasa percaya diri. [Online]. Diakses dari: http://digilib.ump.ac.id/download.php?id=1883.pdf.
Widyaningsih. (2011). Soft skill dalam pembelajaran. [Online]. Diakses dari: http://sriwahyuwidyaningsih.blogspot.com/2012/01/soft-skill-dalam-pembelajaran.html.
Wijaya, N. (2007). Hubungan antara keyakinan diri akademik dengan penyesuaian diri siswa tahun pertama sekolah asrama SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan. [Online]. Diakses dari: https://core.ac.uk /download/files/379/11710701.pdf



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GOALS KOGNITIF (PEMAHAMAN, PENALARAN, KOMUNIKASI, KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS)

GOALS KOGNITIF (PEMAHAMAN, PENALARAN, KOMUNIKASI, KONEKSI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS) MAKALAH Diajukan untuk m emenuhi s ...