KEYAKINAN DIRI (BELIEFS), KEPERCAYAAN DIRI (SELF EFFICACY) DAN KETERAMPILAN HALUS (SOFT SKILL)
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi
salah
satu
tugas
matakuliah Model Pembelajaran Matematika pada semester genap
tahun akademik 2015/2016
dengan dosen pembimbing Maulana,
M.Pd.
Disusun
oleh :
Kelompok 1
Semester 6 Kelas 3D
1.
Trisna
Nugraha (No. Absen/NIM : 47 / 1307502)
2.
Annisa
Listiorini (No. Absen/NIM : 13 / 1306136)
3.
Tera
Lawina Darajat (No. Absen/NIM : 31 / 1306522)
4.
Maharani
Larasati P. (No. Absen/NIM : 46 / 1307346)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS SUMEDANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Keyakinan Diri
(Beliefs), Kepercayaan Diri (Self Efficacy) dan Keterampilah Halus (Soft Skill)” tepat pada waktunya. Rasa hormat dan ucapan
terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Maulana, M.Pd., selaku dosen pengampu
matakuliah Model Pembelajaran Matematika atas ilmu, bimbingan, motivasi, dan
saran yang diberikan selama perkuliahan. Makalah ini akan membahas mengenai kemampuan keyakinan diri, kepercayaan diri dan keterampilan halus
sebagai goals atau perilaku yang
harus diperoleh peserta didik dalam pembelajaran matematika.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan do’a serta dukungan baik secara
moril maupun materiil, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
2.
Bapak Maulana, M.Pd. selaku dosen pengampu matakuliah Model Pembelajaran
Matematika.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi materi, tata bahasa, penulisan
kalimat, maupun kajian teori. Oleh karena itu kami menerima kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca agar kami dapat memperbaikinya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kelompok kami khususnya dan bagi para pembaca
umumnya.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Sumedang, 28
April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah...................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................
2
1.3 Tujuan
Pembahasan..........................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep
dan Implementasi Keyakinan Diri (Beliefs)........................ 4
2.2 Konsep
dan Implementasi Kepercayaan Diri (Self
Efficacy)............ 13
2.3 Konsep
dan Implementasi Keterampilan Halus (Soft
Skill).............. 23
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan...........................................................................................
29
3.2 Saran.................................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Belajar pada hakikatnya adalah suatu proses
interaksi terhadap situasi dan lingkungan yang berada di sekitar individu.
Belajar sendiri dilakukan agar terjadi perubahan perilaku sebagai tujuan dan proses
berbuat melalui pengalaman. Perubahan yang dimaksud hendaknya terjadi sebagai
akibat interaksi dengan lingkungannya. Konsep belajar, mengajar dan pengajaran melahirkan
suatu konsep yakni pembelajaran yang merupakan salah satu upaya interaksi
antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan
demikian pembelajaran matematika dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi
antara pendidik dan peserta didik yang dilakukan secara sadar dan dilakukan
dengan tujuan peserta didik dapat memahami konteks metamatika yang diajarkan.
Terdapat beberapa anak yang tidak percaya diri, tidak
yakin bahwa di dalam dirinya memiliki suatu kemampuan, bakat yang seharusnya
ditunjukkan. Timbulnya rasa kurang percaya diri terhadap sesuatu hal yang ingin
kita lakukan, sebenarnya itu merupakan sebuah perasaan, yang mana perasaan seorang
anak itu tidak nyaman dengan lingkungan. Kemudian dengan munculnya rasa tidak
nyaman, seorang anak akan merasa malu dan takut untuk melakukan suatu hal.
Sehingga peran orangtua sangat dibutuhkan dan diharapkan
oleh mereka, karena orangtua dapat menjadi pelindung bagi mereka ketika berbuat
salah. Sebagai orangtua tidak perlu cemas akan hal seperti itu, karena suatu
saat anak akan terbiasa dengan lingkungan baru setelah mereka mengenal
guru-guru dan teman-temannya. Apabila kita sebagai orangtua menemukan kendala
kurang percaya diri, maka upaya para orang tua yang dapat dilakukan adalah
melatih anak dengan membawanya ke tempat-tempat ramai misalnya pergi mall,
nonton pertandingan bola di lapangan. Tapi perlu diperhatikan juga, kita tidak
boleh memaksakan kehendak seorang anak kurang menyenanginya, itu dapat membuat
anak trauma.
Tidak hanya peran orangtua, peran guru juga sangat
penting dan dapat membantu ketika di sekolah. Jika seorang anak terlihat kurang
percaya diri, guru lebih mengerti dan tahu bagaimana cara utuk mengatasinya
karena guru sudah di bekali sebuah pendidikan. Akan tetapi, ketika guru sedang
memberikan arahan atau nasehat kepada anak dan ternyata anak terlihat kurang
suka, biarkan saja karena ia akan terbiasa dan merasa nyaman, anak pun akan
tumbuh rasa percaya diri.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis dapat
menyimpulkan beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut ini.
1.2.1
Bagaimana konsep dan implementasi dari keyakinan diri (beliefs) sebagai tujuan afektif dalam
pembelajaran matematika?
1.2.2
Bagaimana konsep dan implementasi dari kepercayaan diri (self efficacy) sebagai tujuan afektif
dalam pembelajaran matematika?
1.2.3
Bagaimana konsep dan implementasi keterampilan halus (soft skill) sebagai tujuan dalam
pembelajaran matematika?
1.3
Tujuan
Pembahasan
Adapun
beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam penulisan makalah ini di
antaranya sebagai berikut.
1.3.1
Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep
dan implementasi keyakinan diri (beliefs)
sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.
1.3.2
Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep
dan implementasi kepercayaan diri (self
efficacy) sebagai tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.
1.3.3
Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai konsep
dan implementasi keterampilan halus (soft
skill) sebagai tujuan dalam pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Keyakinan
Diri (Beliefs)
2.1.1
Definisi Keyakinan Diri
(Beliefs)
Keyakinan
diri merupakan salah satu aspek afektif yang diharapkan dapat muncul dan
berkembang dalam pembelajaran matematika. Secara umum keyakinan diri atau belief dapat diartikan sebagai keyakinan
atau kepercayaan diri terhadap sesuatu. Sehingga bila dikaitkan dengan
pembelajaran matematika, keyakinan diri atau belief yaitu keyakinan peserta didik terhadap matematika yang
mempengaruhi respon dirinya terhadap masalah matematika. Namun jika dilihat
dalam pandangan yang lebih luas, keyakinan diri pada pembelajaran matematika
dapat dipandang sebagai keyakinan peserta didik terhadap karakteristik
matematika, keyakinan peserta didik terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan
peserta didik terhadap proses pembelajaran dan keyakinan peserta didik terhadap
kegunaan matematika.
Keyakinan
diri atau beliefs pada dasarnya
terbentuk dari suatu konsep keyakinan. Adapun beberapa ahli mendefinisikan secara formal mengenai keyakinan diantaranya
sebagai berikut ini.
1)
Cooper dan Mc Gaugh
(dalam Sugiman, 2009, hlm. 2), keyakinan adalah sikap yang melibatkan sejumlah struktur
kognitif. Keyakinan berkonotasi dengan sikap seseorang secara mendalam terhadap
suatu objek.
2)
Rokeach (dalam
Sugiman, 2009, hlm. 3), keyakinan adalah pernyataan yang sederhana, disadari
atau tidak disadari sebagai bagian dari apa yang seseorang katakan atau
lakukan, biasanya didahului dengan ungkapan “saya percaya bahwa....”.
3)
Goldin (dalam
Sugiman, 2009, hlm. 3) bahwa struktur keyakinan ada pada masing-masing individu
yang terbentuknya dipengaruhi melalui interaksi dengan sistem keyakinan pada
kelompok sosial.
Berdasarkan pemaparan berbagai definisi mengenai
keyakinan, dapat disimpulkan bahwa keyakinan datang atau berasal dari diri
sendiri, keyakinan seseorang dapat dikatakan dapat pula dilakukan, suatu
keyakinan seseorang dapat dipengaruhi juga oleh kelompok sosial
(lingkungannya). Beralih dari konsep keyakinan, konsep keyakinan diri pertama
kali dikemukakan oleh Bandura dimana menurut Bandura (dalam Silitonga, 2011)
keyakinan diri mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk
mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan
tertentu.
Pervin (dalam Silitonga, 2011) menegaskan kembali
pernyataan Bandura bahwa keyakinan diri adalah kemampuan yang dirasakan untuk
membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus. Keyakinan
diri atau beliefs juga dapat
diartikan sebagai perasaan yang kuat terhadap kebenaran atau keberadaan sesuatu
atau percaya terhadap kebenaran dan kebaikan dari suatu perkara. Dengan
demikian keyakinan diri dapat disimpulkan sebagai perasaan individu atau
peserta didik mengenai kemampuan dirinya untuk mengatur dirinya dan membentuk
perilaku yang relevan dengan situasi yang terjadi dalam diri atau lingkungan.
2.1.2
Sumber Keyakinan Diri (Beliefs)
Keyakinan
diri dapat berasal dari dalam diri sendiri dan dapat juga dipengaruhi dari
beberapa faktor eksternal. Lebih rincinya, Bandura
(dalam Silitonga, 2011) menjelaskan bahwa keyakinan diri individu didasarkan
pada empat hal, diantaranya sebagai berikut.
1)
Pengalaman akan
kesukesan.
Banyak orang mengatakan bahwa pengalaman adalah pelajaran yang paling
berharga atau dalam bahasa Inggris terdapat
ungkapan the experience is the best
teacher bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik. Maka dari itu pengalaman
yang berhubungan dengan
kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap keyakinan diri
individu karena pengalaman tersebut
merupakan pengalaman yang didasarkan pada
pengalaman autentik.
Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan keyakinan diri individu meningkat, karena pada dasarnya diri individu akan memiliki semangat
yang tinggi ketika dia memiliki kesuksesan terhadap sesuatu yang ingin
dicapainya.
Sementara kebalikan dari kesuksesan adalah kegagalan. Kegagalan yang berulang
mengakibatkan menurunnya keyakinan diri, khususnya jika kegagalan terjadi
ketika keyakinan diri individu belum benar-benar terbentuk secara kuat.
Kegagalan juga dapat menurunkan keyakinan diri individu jika kegagalan tersebut
tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.
2)
Pengalaman individu
lain.
Selain daripada pengalaman akan kesuksesan. Individu
tidak bergantung hanya pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan
kesuksesan sebagai sumber keyakinan dirinya. Namun, keyakinan diri seseorang juga dipengaruhi oleh
pengalaman individu lain. Orang lain atau
lingkungan seseorang akan mempengaruhi satu sama lain, dimana
individu lain akan melakukan pengamatan terhadap individu lainnya mengenai keberhasilan individu lain tersebut dalam bidang tertentu. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan keyakinan diri
individu tersebut pada bidang yang sama.
Individu
melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat
melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan
untuk melakukanya dengan baik atau bahkan
lebih baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan
yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan
penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu
untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan
keyakinan diri individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu
kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya
pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.
3)
Persuasi verbal.
Hampir
serupa dengan motivasi bahwa keyakinan diri dapat juga berasal dari suatu
persuasi verbal. Persuasi verbal merupakan suatu ajakan atau dorongan yang
bersifat lisan dan dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu
memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan.
4)
Keadaan fisiologis.
Penilaian
individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi
oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami
individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan
sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik
seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi
individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa keyakinan diri hampir sama dengan motivasi
yakni dapat bersumber dari dalam diri atau faktor intern maupun dari luar atau
biasa disebut dengan faktor ekstern. Kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi
keyakinan diri dalam diri seseorang. Sehingga pendidik perlu menekankan
beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya yaitu memfasilitasi peserta didik
untuk semakin berprestasi, memberikan pengalaman individu lain yang dapat
dipelajari dan memberikan beberapa persuasi baik verbal ataupun tulisan
sehingga peserta didik merasa yakin atas kemampuannya.
2.1.3
Dimensi Keyakinan Diri
(Beliefs)
Bandura (dalam Silitonga, 2011) mengemukakan bahwa
keyakinan diri individu dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu
tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength). Ketiga dimensi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1)
Tingkat (level).
Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas
berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki keyakinan diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan
sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi
yang tinggi. Individu yang memiliki keyakinan diri yang tinggi cenderung
memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
Dengan demikian tingkat kesukaran dari suatu permasalahan matematis bersifat
relatif disesuaikan dengan tingkat keyakinan diri peserta didik.
2)
Keluasan (generality),
berkaitan dengan keluasan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan.
Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada aktivitas yang
luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan keyakinan
diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk
menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki keyakinan diri yang rendah
hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.
Sehingga kekuatan keyakinan diri pada peserta didik dapat berdampak kepada
sejauh mana peserta didik yakin dalam mengerjakan tugas yang bersifat multitasking layaknya komputer.
3)
Kekuatan (strength),
merupakan suatu dimensi yang lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan
individu terhadap keyakinannya. Keyakinan diri menunjukkan bahwa tindakan yang
dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan
individu. Keyakinan diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras,
bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.
2.1.4
Aspek-aspek Keyakinan
Diri (Beliefs)
Keyakinan yang dimiliki seseorang pada dasarnya
dipengaruhi oleh diri dan lingkungannya. Hal tersebut yang berdampak pada
keyakinan seseorang yang dapat berubah. Sama halnya dengan keyakinan dalam
matematika yang meliputi keyakinan terhadap diri dan di luar dirinya.
Sebagai akibat dari beragamnya definisi mengenai keyakinan diri maka aspek yang
diukur dalam menentukan keyakinan seseorang juga berbeda-beda. Oleh sebab itu,
ada beberapa ahli yang
memaparkan macam-macam keyakinan matematika tersebut, diantaranya
sebagai berikut.
1)
Underhill (dalam
Sugiman, 2009, hlm. 6) mengungkapkan bahwa
keyakinan matematika dapat digolongkan menjadi empat macam yaitu keyakinan tentang matematika sebagai suatu disiplin,
keyakinan tentang belajar matematika,
keyakinan tentang pengajaran matematika,
keyakinan tentang dirinya dalam konteks sosial.
2)
McLeod (dalam
Sugiman, 2009, hlm. 6) membagi keyakinan diri
sebagai berikut yaitu keyakinan tentang
matematika, keyakinan
tentang dirinya, keyakinan tentang pengajaran matematika
dan keyakinan tentang konteks sosial.
3)
Kloosterman (dalam
Sugiman, 2009, hlm. 6) membagi keyakinan diri
menjadi keyakinan tentang matematika
dan keyakinan tentang pembelajaran matematika (meliputi,
keyakinan tentang dirinya sebagai pebelajar matematika, keyakinan tentang peran
guru, keyakinan lain tentang belajar matematika).
4)
Pehkonen (dalam
Sugiman, 2009, hlm. 6) menyatakan macam-macam
keyakinan diri yakni keyakinan tentang
matematika, keyakinan
tentang dirinya dalam matematika, keyakinan tentang pengajaran matematika
dan keyakinan tentang belajar matematika.
5)
Goldin (dalam
Sugiman, 2009, hlm. 7) menggolongkan
keyakinan matematika menjadi 4 yaitu keyakinan
tentang matematika sebagai disiplin ilmu,
keyakinan tentang pendidikan matematika,
keyakinan tentang kemampuan diri
dan keyakinan tentang peran siswa dan guru dalam pembelajaran
matematika.
Dari berbagai macam aspek dalam
keyakinan matematika, dapat disimpulkan garis besar aspek-aspek keyakinan diri
dalam matematika sesuai dengan definisi yang sebelumnya sudah dipaparkan yaitu
keyakinan terhadap karakteristik matematika, keyakinan terhadap kemampuan diri
siswa dalam matematika, keyakinan terhadap jalannya proses pembelajaran dalam
matematika, dan keyakinan terhadap kegunaan matematika. Selain daripada
aspek-aspek keyakinan matematika itu sendiri Sugiman (2009, hlm. 3)
mengemukakan tiga
aspek yang secara simultan mempengaruhi keyakinan matematik, yakni objek
pendidikan matematika, konteks kelas, dan dirinya sendiri. Ketiga aspek
tersebut satu sama lain saling terkait dalam membentuk keyakinan matematik
dalam diri siswa. Sehingga guru harus memperhatikan
kondisi masing-masing siswa, buku matematika yang menjadi pegangan, media
pembelajaran, dan metode mengajar.
2.1.5
Indikator Keyakinan
Diri (Beliefs)
Keyakinan
diri atau beliefs dapat dilihat dari
beberapa indikator atau sikap yang nampak dalam pembelajaran matematika. Adapun
beberapa indikator yang mengindikasikan keyakinan diri dalam pembelajaran
matematika yang masih berlandaskan kepada beberapa aspek keyakinan diri
diantaranya sebagai berikut ini.
1)
Keyakinan peserta didik
terhadap karakteristik matematika.
a) Matematika
dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan penuh rumus.
b) Matematika
dipandang sebagai ilmu yang terbentuk dari proses penalaran.
c) Matematika
dipandang sebagai ilmu berpikir logis, kritis dan kreatif.
2)
Keyakinan peserta didik
terhadap kemampuan diri sendiri.
a) Pandangan
peserta didik terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya.
b) Pandangan
tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki peserta didik pada matematika.
3)
Keyakinan peserta didik
dalam mengikuti proses pembelajaran matematika.
a) Pandangan
peserta didik terhadap proses pembelajaran matematika yang ideal.
b) Pandangan
peserta didik terhadap keberhasilan proses pembelajaran matematika.
c) Pandangan
peserta didik terhadap kendala yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses
pembelajaran matematika.
4)
Keyakinan peserta didik
terhadap kegunaan matematika.
a) Pandangan
peserta didik terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
b) Pandangan
peserta didik terhadap kegunaan matematika dalam bidang ilmu lain.
2.1.6
Proses Keyakinan Diri (Beliefs)
Keyakinan
diri dalam pembelajaran matematika tidak muncul begitu saja melainkan muncul
melalui suatu proses psikologi. Bandura
(dalam Wijaya, 2007, hlm. 32) menguraikan proses psikologi keyakinan diri dalam
mempengaruhi fungsi manusia yang meliputi proses kognitif,
motivasi, afeksi dan seleksi. Proses-proses
tersebut diantaranya dapat dirinci lebih
jelas sebagai berikut.
1)
Proses kognitif. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi
kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Individu akan meramalkan kejadian dan
mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya.
Melalui proses ini, individu akan lebih memperhatikan setiap kejadian yang
pernah dan belum terjadi. Proses ini membantu individu untuk meningkatkan
keyakinan diri untuk mencapai tujuannya.
2)
Proses motivasi. Motivasi individu
timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang
diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri sendiri dengan menetapkan
keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan. Menetapkan keyakinan tersebut
seperti mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dirinya dapat melakukan suatu
tindakan yang akan dipilih dan juga merencanakan tindakan yang akan
direalisasikan oleh individu tersebut. Terdapat beberapa macam motivasi
kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal
dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai pengharapan.
3)
Proses afeksi. Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan
berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditunjukkan
dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola
pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
4)
Proses seleksi. Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk
menyeleksi tingkah laku dan lingkungannya yang tepat, sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Keridakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah
laku membuat individu tidak percaya diri, bingung dan mudah menyerah ketika
menghadapi masalah atau situasi sulit. Keyakinan diri dapat membentuk hidup
individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu
melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu
ditanganinya. Individu akan memelihata kompetensi, minat dan hubungan sosial
atas pilihan yang ditentukan.
2.1.7
Cara Mengukur atau
Penilaian Keyakinan Diri (Beliefs)
Untuk
menilai keyakinan diri pada seseorang dapat dilakukan melalui pengamatan atau
observasi terhadap diri siswa dalam pembelajaran matematika yang kemudian
dituliskan kedalam suatu skala seperti menilai beberapa aspek atau kemampuan
afektif lainnya. Model anecdotal record (catatan
yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai
yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Penilaian dilakukan terus
menerus setiap saat guru berada di kelas atau sekolah.
Selain
itu, Fauzi (tanpa tahun) mengungkapkan bahwa salah satu media untuk membawa belief siswa pada level sadar adalah
pertanyaan open-ended. Ketika peserta
didik mempertimbangkan respon-respon mereka terhadap pertanyaan tersebut maka
keyakinan diri mereka mengenai matematika akan terungkap. Ketika sekelompok
siswa membahas respon mereka terhadap pertanyaan tersebut, beberapa keyakinan
diri siswa kemungkinan akan tertantang yang menuntun pada pemeriksaan terhadap
keyakinan diri tersebut dengan meminta beberapa opininya atau kemungkinan
modifikasi dari keyakinan atas jawabannya.
Splangler
(dalam Fauzi, tanpa tahun) menyajikan beberapa bentuk pertanyaan open ended yang dapat digunakan untuk
menyoroti belief siswa mengenai
matematika. Pertanyaan tersebut tela diuji sebelumnya kepada beberapa seiap kolah
dasar, dan jenjang pendidikan lainnya. Setiap pertanyaan diikuti oleh setiap
ringkasan respon-respon khusus dari kelompok yang disebutan sebelumnya. Respon
dari beragam populasi cukup sama karena keyakinan yang dianut oleh kelompok tersebut
umumnya hampir sama. Adapun beberapa pertanyaan yang digunakan untuk mengungkap
belief atau keyakinan diri peserta
didik tersebut diantaranya yaitu sebagai berikut ini.
1)
Jika anda dan seorang
teman anda mendapatkan jawaban-jawaban berbeda untuk masalah yang sama, apakah
yang akan anda lakukan?
2)
Jika diberikan suatu
pilihan, akankah anda memilih untuk memiliki sebuah metode yang bekerja
sepanjang waktu atau banyak metode yang bekerja hanya sepanjang waktu untuk
menyelesaikan masalah?
3)
Bagaimana anda mengetahui
kapan anda telah secara benar memecahkan suatu masalah matematika?
Dari beberapa pertanyaan tersebut dapat
disajikan beberapa respon umum yang dihasilkan diantaranya sebagai berikut.
1)
Jawaban paling umum
untuk pertanyaan nomor satu yaitu siswa keduanya akan mengerjakan kembali
masalah itu.
2)
Jawaban umum untuk
nomor dua yaitu siswa akan lebih memilih untuk memiliki satu metode untuk
memecahkan masalah karena mereka tidak harus mengingat banyak atau menganggap
memorisasi sebagai komponen utama pembelajaran matematika.
3)
Jawaban umum untuk
pertanyaan nomor tiga yaitu mengerjakan kembali masalah, mengecek dengan guru
atau teman sekelas, melihat kembali ke buku, bekerja mundur atau memasukan
nilai-nilai.
2.2
Kepercayaan
Diri (Self Efficacy)
2.2.1
Pengertian Kepercayaan Diri (Self-Efficacy)
Percaya diri adalah sikap yang timbul dari keinginan
untuk senantiasa mewujudkan diri dalam bertindak dan berhasil. Lauster
(Rustanto, 2013) menjelaskan bahwa,
Kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri
sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas
untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas
perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan
prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Percaya diri merupakan
salahsatu sikap positif yang memiliki seorang individu. Dimana ia membiasakan
dan memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain, lingkungan serta situasi yang dihadapi
untuk meraih apa yang diinginkan. Biasanya orang yang tidak percaya diri selalu
memiliki konsep diri negatif, karena ia kurang percaya terhadap kemampuan yang
dimilikinya sehingga menjadi pribadi yang tertutup. Hal ini sejalan dengan
pengertian kepercayaan diri menurut Jacinta F. Rini (Rustanto, 2013), yakni
sebagai berikut.
Kepercayaan diri merupakan sikap positif seorang individu
yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Hal ini
bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala
sesuatu seorang diri alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya
hanya merujuk pada adanya beberapa aspek pada kehidupan individu tersebut di
mana ia merasa memiliki kompetensi, yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa
karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi, serta harapan yang
realistik terhadap diri sendiri.
Adapun menurut Thantaway dalam
kamus istilah bimbingan dan konseling (Rustanto, 2013), “Percaya diri adalah
kondisi mental atau psikologi diri seorang yang memberi keyakinan kuat pada
dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan”. Dengan kata lain,
seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang kuat cenderung akan memiliki
keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai keberhasilan.
Dari beberapa pendapat para
ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah sikap positif
yang dimiliki individu untuk senantiasa memiliki keyakinan, bahwa ia memiliki
kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang didukung oleh pengalaman dan
beberapa potensi yang dimiliki. Implikasinya, guru harus senantiasa menanamkan
rasa percaya disri terhadap peserta didik dalam setiap aktivitas pembelajaran.
2.2.2
Aspek-aspek
Kepercayaan Diri (Self-Efficacy)
Menurut Lauster (Ghufron dan Rini R., dalam Hapsari, M.
J., 2011), peserta didik yang memiliki rasa percaya diri positif memiliki sikap
sebagai berikut.
1)
Keyakinan akan
kemampuan diri, yaitu sikap positif individu tentang dirinya bahwa ia mengerti
sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya.
2)
Optimis, yaitu
sikap positif individu yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala
hal tentanf diri, harapan, dan kemampuannya.
3)
Objektif, yaitu
individu yang percaya diri memandang permasalahan atau sesuatu sesuai dengan
kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya
sendiri.
4)
Bertanggung jawab,
yaitu kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi
konsekuensinya.
5)
Rasional, yaitu
analisa terhadap sesuatu masalah, sesuatu hal, sesuatu kejadian dengan
menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan
kenyataan.
Individu yang memiliki rasa percaya diri akan merasa
yakin dengan kemampuan dirinya, sehingga bisa menyelesaikan masalah dalam
hidupnya, serta mempunyai sikap positif yang didasari keyakinan akan
kemampuannya. Individu tersebut bertanggung jawab atas keputusan yang telah
diambil serta mampu menatap fakta dan realita secara objektif yang didasari
keterampilan.
2.2.3
Jenis-jenis
Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Lindenfield (Nur’asyah, dalam Repository UIN, Tanpa
tahun) menjelaskan bahwa kepercayaan diri terbagi menjadi dua jenis, yaitu
kepercayaan diri lahir dan kepercayaan diri batin. Untuk mengetahui lebih jelas
kedua jenis kepercayaan diri tersebut, berikut penjelasannya.
1)
Kepercayaan diri
lahir adalah keyakinan pada diri sendiri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku
agar dapat dipahami oleh lingkungan sosial.
Kepercayaan
ini terdiri dari:
a)
Mampu berkomunikasi
b)
Mampu menampilkan
diri
c)
Dapat mengendalikan
emosi
d)
Memiliki ketegasan
Perilaku-perilaku ini lebih kepada cara seseorang
menunjukkan percaya dirinya di hadapan orang lain, di mana dengan perilaku
tersebut seseorang akan merasa sangat bangga dengan apa yang telah
dilakukannya.
2)
Kepercayaan diri
batin adalah kepercayaan diri yang memberikan perasaan dan anggapan bahwa
individu dalam keadaan baik. Kepercayaan ini terdiri dari:
a)
Cinta diri
b)
Pemahaman diri
c)
Memiliki tujuan
yang jelas
d)
Berpikir positif
Orang yang
memiliki rasa percaya diri akan mencintai diri mereka sendiri, dan cinta diri
ini bukanlah suatu hal yang dirahasiakan. Dimana ia akan lebih peduli pada diri
sendiri, karena perilaku dan gaya hidupnya untuk memelihara diri. Selain itu,
orang yang percaya diri juga secara teratur memikirkan perasaan, pikiran, dan
perilaku, serta selalu ingin tahu bagaimana pendapat orang lain tentang
dirinya. Orang yang percaya diri juga selalu tahu tujuan hidupnya, karena ia
mempunyai pikiran yang jelas terhadap suatu tindakan dan hasil yang bisa
diharapkan diri apa yang dilakukannya. Kemudian, orang yang memiliki
kepercayaan diri biasanya hidupnya menyenangkan, karena mereka biasa melihat
kehidupannya dari sisi positif.
Kepercayaan diri
batin ini pada intinya lebih kepada tumbuhnya rasa percaya terhadap apa yang
ada dalam dirinya itu bernilai atau berada dalam keadaan baik. Untuk itu,
seseorang yang memiliki kepercayaan diri batin akan memposisikan dirinya
sebagai individu yang baik untuk dapat menunjang kepercayaan diri lahirnya.
Dari kedua jenis
kepercayaan diri di atas, dapat disimpulkan bahwa meski antara kedua jenis
kepercayaan diri tersebut berbeda, tetapi keduanya saling mendukung satu sama
lain untuk seharusnya dimiliki oleh setiap individu. Dimana keduanya saling
berkaitan dalam pembentukan kepercayaan diri individu tersebut.
2.2.4
Karakteristik
Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Berbagai karakteristik percaya diri telah diungkapkan
oleh para ahli. Berikut ini karakteristik percaya menurut Lauster (Rustanto,
2013).
1)
Percaya kepada
kemampuan sendiri, artinya keyakinan atas diri sendiri terhadap segala sesuatu
yang terjadi, yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi dan
mengatasinya.
2)
Bertindak mandiri
dalam mengambil keputusan, artinya bertindak dalam mengambil keputusan atas
segala sesuatu yang terjadi secara mandiri tanpa ada keterlibatan orang lain,
dan meyakini tindakannya tersebut.
3)
Memiliki konsep
diri yang positif, artinya adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri,
baik dari pandangan maupun tindakan yang dilakukan yang dapat menimbulkan rasa
positif terhadap diri sendiri.
4)
Berani
mengungkapkan pendapat, artinya sikap untuk mampu mengutarakan pendapat yang
ingin dikemukakan kepada orang lain tanpa adanya paksaan, tekanan, atau hal
yang dapat menghambat pengungkapan pendapat tersebut.
5)
2.2.5
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Menurut Ghufron (Tanpa nama, 2011), rasa percaya diri
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Penjelasannya yaitu sebagai
berikut.
1)
Faktor Internal
a)
Konsep Internal
Terbentuknya percaya diri pada
seseorang di awali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam
pergaulan suatu kelompok. Konsep diri merupakan gagasan tenetang dirinya
sendiri. individual yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep
diri negatif, sebaiknya individu yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki
konsep diri positif.
b)
Harga Diri
Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri
sendiri. Individu yang memiliki harga diri tinggi akan mneilai pribadi secara
rasional dan benar bagi dirinya, serta mudah mengadakan hubungan dengan
individu lain. Individu yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat
dirinya sebagai individu yang berhasil, percaya bahwa usahanya mudah, dan
menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi individu
yang mempunyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri,
biasanya terbentur pada kesulitan sosial, dan pesimis dalam pergaulan.
c)
Kondisi Fisik
Perubahan kondisi fisik juga
berpengaruh pada rasa percaya diri penampilan fisik merupakan penyebab utama
rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang, dan ketidak mampuan fisik
dapat menyebabkan rendah diri.
d)
Pengalaman Hidup
Kepercayaan diri diperoleh dari
pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa
rendah diri. Apalagi jika pada dasaranya individu memiliki rasa tidak aman,
kurang kasih sayang dan kurang perhatian.
2)
Faktor Eksternal
a)
Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi percaya
diri individu, tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa
dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannyayang
lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada
orang lain. Individu akan mampumemenuhi
keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan
situasi dari sudut kenyataan.
b)
Pekerjaan
Bekerja dapat mengembangkan
kreativitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Rasa percaya diri dapat
muncul dengan melakukan pekerjaan selain materi yang diperoleh. Keputusan dan rasa
bangga didapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri.
c)
Lingkungan
Lingkungan di sini merupakan
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima
dari lingkungan keluarga seperti anggota keluarga yang sering berinteraksi
dengan baik, akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu juga
dengan lingkungan masyarakat, semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh
masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang.
2.2.6
Manfaat Kepercayaan
Diri (self Efficacy)
Kepercayaan diri memiliki
manfaat yang sangat besar untuk setiap individu sebagaimana menurut Abdi (2012), manfaatdari percaya diri
di antaranya sebagai berikut.
1)
Berani menjadi
individu yang sesuai dengan jati diri.
2)
Selalu optimis
dalam menjalani semua hal.
3)
Akan mudah untuk
meraih kesuksesan.
4)
Tidak ragu-ragu
dalam melakukan sesuatu.
5)
mampu untuk
mengembangkan kemampuan yang dimiliki.
6)
Mampu untuk
mengekspresikan diri secara positif.
7)
Mudah berpikir
secara realitis.
8)
Memiliki kemampuan
untuk memimpin dan dipimpin.
9)
Siap mengkritik dan
dikritik.
10)
Mempunyai semanagat yang lebih tinggi.
Selain itu, Awaludin (2009)
juga mengemukakan manfaat percaya diri seperti berikut.
1)
Menjadi pribadi
yang tahan banting. Individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi tidak mudah
terpengaruh oleh orang lain, karena telah mempunyai prinsip yang kuat.
2)
Mampu mengatasi
keadaan dengan baik, artinya mampu menggunakan akal bijak sehingga tidak mudah
untuk terprovokasi.
3)
Tahu kapasitas diri
sendiri, sehingga mengerjakan sesuatu secara efektif dan efisien.
4)
Memandang semua hal
secara optimis.
5)
Kualitas
kepribadian meningkat yang tentunya akan meningkatkan hubungan dengan
orang-orang di sekitarnya.
6)
Mampu mengontrol
emosi dengan baik.
7)
Hidup akan lebih
sistematis.
Dengan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, maka
kualitas hidup seseorang dapat meningkat. Hal ini disebabkan, seseorang yang
memiliki rasa percaya diri dapat mengendalikan dan menggunakan akal dengan
bijak dan mampu menontrol emosi dengan baik. Begitupula dengan peserta didik
sekolah dasar, jika ia mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, maka berdampak
baik pada keberhasilannya di sekolah. Kepercayaan diri merupakan salahsatu
modal yang dibutuhkan oleh peserta didik dalam belajar, yang akan menentukan
keberhasilan peserta didik di sekolah. Dengan percaya diri, peserta didik juga
dapat termotivasi untuk menjadi yang terbaik di kelas maupun sekolahnya.
2.2.7
Proses Pembentukan
Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Untuk memiliki kepercayaan diri, tidak semua orang
mendapatkannya secara langsung. Akan tetapi, ada beberapa proses yang dapat
dilakukan demi terbentuknya rasa percaya diri dalam diri pribadi seseorang.
Thursan Hakim (Repository UIN, Tanpa tahun), mengatakan bahwa secara garis
besar rasa percaya diri yang kuat akan terbentuk melalui proses sebagai
berikut.
1)
Terbentuknya
kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan
kelebihan-kelebihan tertentu.
2)
Pemahaman seseorang
terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat
untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya.
3)
Pemahaman dan
reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar
tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri.
4)
Pengalaman di dalam
menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala
kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya.
Dari beberapa proses di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada intinya rasa percaya diri akan terbentuk dari adanya dorongan dalam diri
mengenai kelebihan-kelebihan dan pengalaman baik yang ia miliki untuk kemudian
ia tunjukkan pada orang lain. Di samping itu, kelemahan-kelemahan yang
dimilikinya secara sadar dipikirkannya bukan untuk menjadikannya rendah diri,
tetapi hal itu merupakan suatu dorongan dimana ia bisa tetap berpikiran positif
dan mampu menyesuaikan diri di samping kelemahan yang dimilikinya tersebut.
2.2.8
Cara Meningkatkan
Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Kepercayaan diri tidak akan muncul dengan begitu saja,
melainkan melalui proses yang terjadi. Dengan kata lain, suatu rasa percaya
diri harus dipupuk sehingga dapat berkembang dengan baik. Pada dasarnya,
kepercayaan diri yang dimiliki pada tiap individu berbeda-beda. Ada yang kurang
percaya diri, ada yang tidak percaya diri, dan ada juga yang terlalu percaya
diri. Romansah (2012) mengemukakan, bahwa ada beberapa cara untuk meningkatkan
rasa percaya diri peserta didik yang dapat dilakukan di sekolah, diantaranya.
1)
Mengikuti kegiatan
lomba-lomba. Dengan mengikuti berbagai macam lomba, rasa percaya diri siswa
dapat meningkat dengan baik. Baik itu perlombaan akademik maupun non-akademik.
Implikasinya, guru dapat menyampaikan materi ajar melalui permainan, sehingga
siswa dapat berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik.
2)
Memperbanyak kegiatan
yang mengasah skill individu siswa.
Guru dapat mengasah skill siswa
dengan cara penggunaan metode ajar yang beragam. Misalnya, dengan membiarkan
siswa menemukan sendiri pengetahuannya ataupun membebaskan siswa untuk membuat
karya sederhana sesuai dengan tujuan pembelajaran.
3)
Pemberian tugas
individual. Melalui belajar mandiri siswa menjadi terbiasa memecahkan masalah,
terlepas apakah jawaban yang diperoleh tepat atau tidak karena dapat
didiskusikan bersama guru maupun siswa yang lain. Yang paling penting, peserta didik memiliki rasa percaya
diri dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
2.2.9
Penilaian
Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Ketika peserta didik memiliki rasa percaya diri, maka hal
itu akan sangat menguntungkan bagi pesreta didik terhadap kemampuannya untuk
terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar. Untuk kepercayaan diri peserta
didik tersebut, diperlukan suatu penilaian yang menurut Bastiawan (2013) adalah
sebagai berikut.
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai sikap
percaya diri yang ditampilkan oleh siswa, dengan kriteria sebagai berikut.
4= selalu, apabila selalu melakukan
sesuai pernyataan
3= sering, apabila sering
melakukan sesuai pernyataan dan kadang-kadang tidak melakukan
2=
kadang-kadang, apabila kadang-kadang melakukan dan sering tidak melakukan
1= tidak pernah, apabila tidak pernah
melakukan
No.
|
Aspek Pengamatan
|
Skor Perolehan
|
|||
4
|
3
|
2
|
1
|
||
1.
|
Berani presentasi di depan kelas
|
|
|
|
|
2.
|
Berani berpendapat, bertanya, atau menjawab
pertanyaan
|
|
|
|
|
3.
|
Berpendapat atau melakukan kegiatan tanpa
ragu-ragu
|
|
|
|
|
4.
|
Mampu membuat keputusan dengan cepat
|
|
|
|
|
5.
|
Tidak mudah putus asa atau pantang menyerah
|
|
|
|
|
Petunjuk Penskoran:
Skor akhir menggunakan skala 1
sampai 4
Perhitungan skor akhir menggunakan
rumus:
2.3
Keterampilan
Halus (Soft Skill)
2.3.1
Pengertian Keterampilan Halus (Soft
Skill)
Ardiyansyah (2010), soft skill merupakan suatu kemampuan, bakat,
atau keterampilan yang ada pada diri individu. Soft skill bersifat
non-teknis, artinya tidak berbentuk atau tidak terlihat wujudnya. Soft skill
mencakup tingkah laku personal dan tingkah laku interpersonal. Soft skill
personal artinya kemampuan yang dimanfaatkan untuk diri sendiri, sedangkan soft
skill interpersonal merupakan kemampuan yang dimanfaatkan untuk diri
sendiri dan orang lain.
Widyaningsih
(2011) menyatakan, bahwa terdapat aspek-aspek dalam kemampuan personal, yaitu
sebagai berikut.
1)
Kesadaran diri (self awareness), yang di dalamnya meliputi: kepercayaan diri,
kemampuan untuk melakukan penilaian dirinya, pembawaan, serta kemampuan
mengendalikan emosional.
2)
Kemampuan diri (self skill), yang di dalamnya meliputi: upaya peningkatan diri,
kontrol diri, dapat dipercaya, dapat mengelola waktu dan kekuatan, proaktif,
dan konsisten.
Selain itu, kemampuan interpersonal juga mencakup dalam beberapa aspek,
diantaranya.
1)
Aspek kesadaran sosial (social awareness), yang meliputi:
kemampuan kesadaran politik, pengembangan aspek-aspek yang lain, berorientasi untuk melayani dan empati.
2)
Aspek kemampuan sosial (social skill), yang meliputi: kemampuan
memimpin, mempunyai pengaruh, dapat berkomunikasi, mampu mengelola konflik,
kooperatif dengan siapapun, dapat bekerjasama dengan tim, dan bersinergi.
Soft skill juga dapat diartikan sebagai
suatu keterampilan dan kecakapan hidup, baik dnegan diri sendiri, berkelompok
atau bermasyarakat, serta dengan Sang Pencipta (Elfindri, dalam Widyaningsih,
2011). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keterampilan halus (soft
skill) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu,
keterampilan tersebut tidak berwujud, dan mencakup tingkah laku personal dan
interpersonal. Di mana dengan memiliki soft skill tersebut dapat
meningkatkan kecakapan hidup, baik dnegan diri sendiri, kelompok, masyarakat,
maupun dengan Sang Pencipta.
2.3.2
Indikator Keterampilan Halus (Soft
Skill)
Menurut Setiani (2011), penerapan dan pengembangan soft skills di sekolah dasar (SD) bertujuan dalam pembinaan mentalitas (personal skill dan interpersonal skill) pada
diri siswa. Hal ini dilakukan, agar
lulusan dari SD dapat menjadi
dasar yang terbaik dalam pengembangan keterampilan lebih lanjut di jenjang
pendidikan selanjutnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, indikator yang dapat
dikembangkan di antaranya yaitu siswa dapat berkomunikasi tertulis dan lisan,
bekerja mandiri, bekerja dalam tim, berpikir logis, dan berpikir analitis. Dalam
indikator tersebut tercakup sepuluh atribut soft
skill, seperti inisiatif, integritas, berpikir analitis, kemauan untuk
belajar, komitmen, motivasi untuk meraih prestasi, antusias, kemampuan
berkomunikasi, andal (reliable), dan
berkreasi. Berikut penjelasan dari kesepuluh atribut soft skill tersebut.
1)
Inisiatif, maksudnya
yaitu sikap di mana siswa dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan
tanggung jawab serta mengembangkan tingkah laku yang positif.
2)
Integritas, maksudnya
yaitu siswa memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan
kejujuran.
3)
Berpikir analitis,
maksudnya yaitu siswa diharapakan dapat berpikir kritis dan menganalisis
keadaan untuk memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi.
4)
Kemauan untuk belajar, maksudnya
yaitu melalui kegiatan pembelajaran yang menyenangkan siswa akan tumbuh
keinginan untuk terus belajar serta menuntut ilmu.
5)
Komitmen, maksudnya
yaitu teguh terhadap keputusan yang diambil.
6)
Motivasi untuk meraih
prestasi, maksudnya yaitu siswa diharapkan memiliki semangat untuk meraih
prestasi dengan siswa lainnya.
7)
Antusias, maksudnya
yaitu siswa memiliki gairah atau semangat dalam belajar.
8)
Kemampuan
berkomunikasi, maksudnya yaitu siswa diharapkan dapat melakukan komunikasi
dengan siswa lainnya. Kemampuan berkomunikasi ini dapat dikembangkan melalui
kegiatan kelompok dan berdiskusi.
9)
Andal (reliable), maksudnya yaitu siswa memiliki
kemampuan yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah.
10) Berkreasi,
maksudnya yaitu setiap siswa dapat mengembangkan kreativitasnya dengan
berkreasi.
Melihat
dari indikator-indikator di atas, keterampilan halus siswa sebenarnya dapat
dilatihkan kepada siswa dalam proses pembelajaran. Misalnya saja dalam kegiatan belajar,
siswa diharapkan dapat memiliki kemauan untuk belajar atau antusiasme yang
tinggi, sehingga dapat meningkatkan kecintaannya terhadap mata pelajaran tersebut.
Selain itu, ketika siswa
dihadapkan pada suatu permasalahan dalam belajar diharapkan siswa dapat
berinisiatif hingga berkreasi dalam mencari penyelesaian permasalahan tersebut. Banyak cara atau
mungkin sebenarnya serangkaian kegiatan pembelajaran merupakan bagian penting
dari keterampilan halus (soft skill)
siswa yang perlu dikembangkan dan dimiliki siswa dengan baik.
2.3.3
Manfaat Keterampilan Halus (Soft Skill)
Soft skill memiliki banyak
manfaat yang dapat dirasakan oleh individu terutama kelak ketika bergaul di
masyarakat dan memasuki dunia kerja. Dimana
kelak dituntut untuk ahli dalam bidang tertentu.
Bahkan ketika individu memiliki soft
skill yang baik, ia dapat mencapai kesuksesan yang luar biasa.
Gibran (2013)
mengemukakan
beberapa manfaat soft skill, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1)
Sebagai
atribut kualitas jasa.
2)
Dapat
memiliki sifat mandiri.
3)
Dapat
membangun karakter individu.
4)
Dapat
membangun kepribadian individu yang berkualitas.
5)
Dapat
menumbuhkan rasa percaya diri.
6)
Dapat
bersosialisasi dalam tim.
7)
Dapat
menumbuhkan kepekaan wawasan pemikiran dan kepribadian individu.
8)
Dapat
membentuk jiwa yang kritis di dalam diri individu.
Manfaat soft skill ini juga dapat dirasakan dalam pembelajaran, seperti
yang dikemukakan oleh Chika (2011) diantaranya.
1)
Siswa
dapat berpartisipasi dalam kelompok.
2)
Siswa
sebagai subjek belajar dapat mengajar orang lain.
3)
Siswa
dapat memberikan layanan berupa pertolongan kepada temannya jika ada yang
mengalami kesulitan.
4)
Siswa
dapat memimpin sebuah kelompok.
5)
Siswa
dapat melakukan negosiasi.
6)
Siswa
dapat belajar menyatukan sebuah kelompok yang memiliki latar sosial budaya yang
berbeda.
7)
Siswa
dapat memotivasi dirinya sendiri.
8)
Siswa
dapat belajar mengambil keputusan menggunakan keterampilan yang dimilikinya.
9)
Siswa
dapat menggunakan kemampuan memecahkan masalah.
10) Siswa dapat mengamati bentuk-bentuk
etiket yang terdapat di lingkungannya.
11)
Siswa
dapat berhubungan dengan orang lain.
12)
Siswa
dapat melakukan basa-basi untuk memulai atau menjaga percakapan.
13) Siswa dapat menjaga percakapan
bermakna seperti dalam diskusi atau perdebatan.
14) Siswa dapat belajar menetralkan
argumen dengan bahasa yang sopan dan singkat.
15) Siswa dapat menunjukkan minat dan
berbicara dengan cerdas tentang topik apapun.
Dari uraian manfaat soft skill di atas, dapat dilihat bahwa terdapat nilai afektif yang dapat
diperoleh oleh peserta didik selama proses pembelajaran. Bahkan, melalui
keterampilan halus ini pun dapat menunjang aspek kognitif dan keterampilan
peserta didik.
2.3.4
Cara Meningkatkan Keterampilan Halus (Soft Skill)
Siswa dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Keterampilan
halus dalam pembelajaran matematika di sekolah sangat penting dan dibutuhkan
oleh peserta didik dalam menunjang pembelajaran dan masa depan peserta didik.
Menurut Budiono (2013), berikut ini beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan
soft skill.
1)
Melalui learning by doing.
2)
Mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar manajemen.
3)
Berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.
Adapun langkah-langkah
persiapan yang harus dilakukan oleh guru dalam pembelajaran untuk meningkatkan
keterampilan halus peserta didik, diantaranya.
1)
Susun tujuan
instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
2)
Masukkan pada setiap
tahap pelajaran soft skill apa yang dihasilkan.
3)
Rencanakan bagaimana
metode operasional melaksanakannya, baik masing-masing tahap ajar, maupun pada
beberapa pertemuan.
4)
Lakukan uji coba pada
kelompok siswa atau suatu kelas.
5)
Review
hasil uji coba untuk perbaikan.
6)
Finalisasi metode
pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Keyakinan
diri merupakan sebagai perasaan individu atau peserta didik mengenai kemampuan
dirinya untuk mengatur dirinya dan membentuk perilaku yang relevan dengan
situasi yang terjadi dalam diri atau lingkungan. Adapun indikator-indikator keyakinan diri diantaranya,
keyakinan peserta didik terhadapa karakteristik matematika, keyakinan peserta
didik terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan peserta didik dalam mengikuti
proses pembelajaran matematika, dan keyakinan peserta didik terhadap kegunaan
matematika. Selain itu, keyakinan diri seseorang juga harus melewati beberapa
proses antara lain, proses kognitif, motivasi, afeksi, dan seleksi.
Kepercayaan diri adalah sikap
positif yang dimiliki individu untuk senantiasa memiliki keyakinan, bahwa ia
memiliki kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang didukung oleh pengalaman
dan beberapa potensi yang dimiliki. Implikasinya, guru harus senantiasa
menanamkan rasa percaya disri terhadap peserta didik dalam setiap aktivitas
pembelajaran. Keterampilan halus (soft skill)
merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu, keterampilan tersebut
tidak berwujud, dan mencakup tingkah laku personal dan interpersonal. Di mana
dengan memiliki soft skill tersebut dapat meningkatkan kecakapan hidup, baik
dnegan diri sendiri, kelompok, masyarakat, maupun dengan Sang Pencipta.
3.2
Saran
Keyakinan
diri (beliefs), kepercayaan diri (self afficacy) dan keterampilan halus (soft skills) perlu dimunculkan pada
pembelajaran matematika di sekolah dasar disamping keterampilan kognitif. Hal
tersebut dikarenakan secara tidak langsung beberapa kemampuan atau goals yang diharapkan muncul dalam
pembelajaran matematika itu sangat mampu mempengaruhi prestasi belajar peserta
didik. Oleh karena itu guru diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran
yang kondusif dan memberikan keleluasaan bagi peserta didik dalam belajar
matematika sehingga mampu meningkatkan keyakinan diri dan kepercayaan diri.
Selain itu guru juga harus mampu melatih ketarampilan halus peserta didik yang
dapat berguna baik bagi pembelajaran maupun kehidupannya. Disamping hal
tersebut, guru juga harus mampu mengevaluasi beberapa keterampilan tersebut
yang didasarkan kepada masing-masing indikator dari setiap keterampilan yang
kemudian dapat dijadikan sebagai evaluasi dalam pengembangan pembelajaran dan
pembentukan sikap peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyansyah, R.
(2010). Pengertian soft skill dan
penjelasannya. [Online]. Diakses dari:
http://hiddengrazz.blogspot.com/2010/09/pengertian-softskill-penjelasannya.html.
Awaludin.
(2009). Manfaat dari percaya diri.
[Online]. Diakses dari: http://mrasyiduddin.blogspot.in/2009/02/7-manfaat-dari-percaya-diri.html.
Bastiawan, A.
(2013). Rubrik penilaian peserta didik 2013. [Online]. Diakses dari:
http://bastiawanade.blogspot.in/2013/12/rubrik-penilaian-peserta-didik-2013.html.
Budiono, S.
(2013). Apa, mengapa, dan bagaimana soft skill
dapat meningkatkan potensi anak. [Online].
Diakses dari:
http://konselordrsuko.blogspot.com/2013/10/pa-mengapa-dan-bagaimana-soft-skill.html.
Chika. (2011). Manfaat soft skill. [Online]. Diakses
dari: http://chika-2513.blogspot.com/2011/09/manfaat-soft-skill.html.
Fauzi, M.A.
(tanpa tahun). Pembentukan belief siswa
melalui kemandirian belajar matematika di sekolah. [Online]. Diakses dari: http://digilib.unimed.ac.id /1030/2/FullText.pdf
Gibran, D.
(2013). Soft skill. [Online]. Diakses
dari: http://diahanandagibran.wordpress.com/2013/06/15/softskill/.
Hapsari, M. J.
(2011). Upaya meningkatkan self-confidence
siswa dalam pembelajaran matematika melalui model inkuiri terbimbing.
[Online]. Diakses dari: http://eprints.uny.ac.id/7385/1/p-30.pdf.
Rustanto, B.
(2013). Konsep kepercayaan diri.
[Online]. Diakses dari:
http://bambang-rustanto.blogspot.in/2013/08/konsep-kepercayaan-diri.html.
Repository UIN.
(Tanpa tahun). Bab II: Tinjauan pustaka.
[Online]. Diakses dari: http://repository.uin-suska.ac.id/1187/3/BAB%20II.pdf.
Romansah, W.
(2012). Upaya sekolah untuk meningkatkan
percaya diri siswa. [Online]. Diakses dari:
http://kumengajar.blogspot.in/2012/05/upaya-sekolah-untuk-meningkatkan.html.
Sugiman. (2009). Aspek keyakinan
matematik siswa dalam pendidikan matematika. [Online]. Diakses dari: http://staff.uny.ac.id/sites/default
/files/131930135/2009b_KYM.pdf.
Silitonga, P. (2011). Hubungan antara
keyakinan diri dengan penyesuaian diri siswa kelas X SMA Budi Murni Deli Tua yang tinggal di asrama. [Online].
Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28486/5/
Chapter%20II.pdf.
Tanpa nama.
(2011). Bab II tinjauan pustaka rasa
percaya diri. [Online]. Diakses dari:
http://digilib.ump.ac.id/download.php?id=1883.pdf.
Widyaningsih.
(2011). Soft skill dalam pembelajaran. [Online].
Diakses dari:
http://sriwahyuwidyaningsih.blogspot.com/2012/01/soft-skill-dalam-pembelajaran.html.
Wijaya, N. (2007). Hubungan antara
keyakinan diri akademik dengan penyesuaian diri siswa tahun pertama sekolah
asrama SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan. [Online].
Diakses dari: https://core.ac.uk
/download/files/379/11710701.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar